Sejarah Perkembangan Masjid Kuno Kaujon
Masjid kuno berada di Kampung Kaujon RT003 RW01 Kelurahan Serang, Kecamatan Serang, Kota Serang, banten. Masjid ini terletak di antara pemukiman penduduk. Masjid Kaujon berbatasan dengan Jalan RM HS Jayadiningrat di sebelah utara, di selatan berbatasan rumah penduduk. Terletak 50 meter dari aliran sungai Kali Ci Banten di sebelah timur yang dahulu  berfungsi  sebagai  urat  nadi kehidupan seperti perdagangan,  pengairan,  dan  ekspresi  budaya, kemudian di sebelah barat terdapat rumah penduduk Daerah Kaujon memang merupakan kawasan pemukiman lama di Kota Serang.
Penyebutan nama kaujon, diambil dari salah seorang tokoh masyarakat yang ada di daerah tersebut, yaitu Ki Uju yang merupakan pangeran dan panglima perang kesultanan banten. Masih menjadi perdebatan kapan masjid ini dibangun, karena para tokoh masyarakat terdahulu pun tidak menceritakannya, selain itu tidak ada buku atau catatan tertulis mengenai masjid tersebut. Namun menurut warga diperkirakan Masjid Kuno Kaujon sudah berdiri pada abad ke-17 atau abad ke-18. Sebelum jembatan kaujon yang berada persis di depan masjid itu yang dibangun pada masa pemerintah kolonial Belanda tahun 1875. Jembatan Kaujon terdapat di Jalan RM. HS. Jaya Diningrat, berdampingan dengan jembatan Kaujon yang baru, disebelah selatan terdapat Masjid Kuno Kaujon, di sebelah timur terdapat Gedung Juang 45, dan di sebalah barat terdapat pertokoan dan rumah penduduk.
Jembatan sepanjang 33.15 m dengan lebar 5.9 m ini ditopang konstruksi beton di bagian tengah. Batas pengaman sisi barat dan selatan berupa pagar besi, adapun ujung jembatan berupa pilar di timur laut dan tenggara berbentuk persegi setinggi 130 cm dimana terdapat goresan angka tahun 1875 pada salah satu sisinya. Saat ini kondisi jembatan kaujon terkesan kumuh karena dipergunakan untuk menempatkan gerobak-gerobak pedagang kaki lima.
Menurut pemaparan dari Abah Tubagus Itho serorang pengurus masjid kuno kaujon, rumah dan jalan di depan masjid kaujon dahulu masih berupa aliran sungai Ci Banten. Kemudian kapal-kapal nelayan dari karangantu masuk ke daerah Kaujon melalui aliran sungai Ci Banten karena saat itu kali banten masih sangat luas untuk kapal nelayan bersandar. Setelah mendapat hasil tangkapan ikan para nelayan menjual hasil mereka di pasar sore. Para nelayan yang ingin melakukan ibadah Sholat ini kemudian membangun bagunan sederhana untuk tempat ibadah di tepi sungai Ci Banten, seperti yang ada di Banten girang yang juga dibangun di tepi kali banten. Di tepi sungai juga biasanya terdapat tempat pengimaman untuk sholat. Jadi begitulah awal mula bagaimana proses berdirinya masjid kuno kaujon menurut pemaparan Abah Tubagus  Itho.
Pada salah satu bagian masjid terdapat penanda, yang tertulis ANNO 1936 yang merupakan bukti bahwa masjid kuno kaujon pernah direnovasi menjadi bangunan masjid pada masa pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1936. Menurut pemapran dari bapak Muhammad Tohir seorang juru pelihara masjid kuno kaujon, renovasi itu dilakukan oleh seorang mualaf berkebangsaan belanda. Namun saat ini pemerintah dan masyarakat setempat sangat menjaga keaslian dari arsitektur masjid tersebut. Renovasi kecil-kecilan tetap dilakukan seperti:
- Ruangan masjid dan jalan pada 22 September 1995
- Ruangan masjid ibu-ibu pada 22 Maret 1996
- Pagar masjid pada 17 Maret 1997
- Tempat wudhu pada 17 Agustus 1997
- Panca niti dan tangga bawah pada 1 Januari 1998
- Jendela dan Gudang pada 19 Juni 1998
- Kramik dinding pada 26 Agustus 2002
Pada peta tahun 1878, Masjid Kuno Kaujon  sudah terekam keberadaanya, Oleh pemerintah kolonial, daerah Kaujon dikategorikan sebagai wilayah radikal karena sering menjadi basis perlawanan orang-orang Serang, terutama dari orang-orang Kaujon, Kaloran, dan Pegantungan.Â
Pada tahun 1888, Pemberontakan Ki Haji Wasyid di Cilegon telah menjadi inspirasi bagi pergerakan jawara, kelompok agama, juga pejabat pribumi yang secara aktif sering berkumpul di masjid tersebut. "Namun, karena pemberontakan di Cilegon gagal, gerakan pemberontakan di Serang tidak berlanjut," paparan dari Bapak Mushab.
"Saya cukup kesulitan mencari arsip-arsip foto pada tahun 1900-an, mungkin karena masjid-masjid tersebut menjadi basis pergerakan perlawanan terhadap kolonial, juga adanya anggapan bahwa orang-orang non-muslim dilarang untuk mengunjungi masjid-masjid," papar bapak Mushab. Hingga pada peta di awal abad ke-20, yaitu tahun 1915, Masjid Kuno Kaujon tidak tampak. "Hilangnya masjid tersebut dari peta menimbulkan pertanyaan, apakah masjid tersebut dihancurkan atau memang hancur secara alamiah," terang Bapak Mushab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H