Mohon tunggu...
ian sancin
ian sancin Mohon Tunggu... Novelis - Seniman

Penulis Novel Sejarah Yin Galema.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggalorkan Tradisi Turun Tanggak Tebu Belitong

20 Desember 2023   00:50 Diperbarui: 21 Desember 2023   06:51 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumlah tujuh dari berbagai perlengkapan dan persyaratan ritual tersebut memaknai tujuh tahapan kehidupan yang bakal dijalani oleh sang anak nantinya antara lain: 1, masa menyusui atau masa pengasuhan (Nyusu). 2, masa penyapihan atau melepaskan masa menyusui penguatan fisik (Biak kecik). 3, masa kanak kanak, pembentukan sifat dan sikap (Kulup). 4, masa remaja atau masa puber (Bujang). 5, masa pemuda atau masa mematangkan pergaulan (Bebiakan).  6, masa dewasa atau masa membina kehidupan (Laki bini). 7, masa tua atau masa peralihah menuju kematian (Uzur)

Selain kelengkapan tersebut, juga disediakan sebuah kelapa gading muda dibentuk seperti cupu (mangkok bertutup). Rupa cupu dari kelapa ini tutup dan mangkoknya dibuat tidak terpotong rata tapi dibuat segi tiga melingkari buahnya. Bentuk tersebut dibuat agar posisinya tak berubah (jika menutupkannya tak sesuai maka aka nada celah) hal tersebut dibuat agar cupu kelapa yang masih berisi airnya itu tak dimasuki udara juga serangga. Fungsi cupu kelapa ini untuk menempatkan potongan rambut bayi yang digunting oleh empatpuluh empat pembaca salawat. Selanjutnya sisa rambut yang tersisa akan dibersihkan oleh "pengulu ritual" atau seorang yang ditunjuk oleh keluarga untuk membopong bayi selama acara ritual berlangsung.

Ritual dimulai dari sang bayi diserahkan ibundanya lalu ke ayahandanya selanjutnya dari ayahandanya diserahkan ke pengulu ritual guna dibopong untuk diturunkan dari rumah ke tanah halaman rumah dengan melewati "tanggak tebu" terus menapaki piring piring berisi persyaratannya hingga meninjak atau menapaki tanah. Setelah sebanyaknya tiga kali menapaki pijakan ini terus sang bayi dibopong ke hadapan para pembaca syalawat

Para pembaca salawat sudah siap untuk memotong sedikit rambut sang bayi. Pengulu ritual dibantu seorang yang membawakan baki berisi cupu kelapa berhias lilitan "janur kelipan" (janur dibuat serupa kelabang) melingkari cupu kelapa yang di dalamnya masih terdapat air kelapanya. Di situ juga ada tujuh buah ketupat kecil kosong minimal dua jenis atau tujuh rupa bunga. Ada sebilah  gunting  guna memotong rambut sang bayi, tiap orang yang hadir di situ boleh memotong  helai rambut sang bayi.

Potongan rambut tersebut ditaruh dalam cupu kelapa yang sudah terbuka itu. Setelah dirasa pemotongan rambut sang bayi selesai, lalu rambut itu disimpan sementara dalam  cupu kelapa muda tersebut secara tertutup. Setelah nanti ritual selesai maka selanjutnya cupu kelapa berisi potongan rambut itu di hanyutkan ke aliran sungai menuju lautan. Itu memaknai bahwa kehidupan selanjutnya tak sekedar ada di kampung halaman semata tapi ke seluas lautan yang ada di muka bumi.

F a s e    P e r t e n g a h a n

Ritual tradisi turun tanggak tebu fase ini dimulai sejak masa Cakraningrat IV KA Bustam 1700 hingga ke masa Cakraningrat IX pemerintahan KA Mohammad Saleh. Pada masa ini KA Bustam menikahi Putri Gunong Labu yang menurut keyakinan pada masa itu sang istri beliau adalah turunan bunian (makhluk sebangsa jin). Karenanya, sejak sang Raja memiliki anak maka ritual tanggak tebu mengalami perubahan dari biasanya. Dari enam buah piring yang ada menjadi tujuh piring. Piring satunya berisi tanah pasir yang lembut.

Piring berisi tanah pasir lembut ini guna melihat apakah pijakan telapak kaki sang bayi akan terbenam di pasir atau pasirnya jadi lengket di kakinya. Apabila itu tidak terjadi maka sang bayi dinyatakan murni keturunan manusia. Namun apabila sebaliknya maka di dalam diri sang bayi ada unsur makhluk lainnya. Pada ritual ini orang orang tak boleh menyaksikannya kecuali orangtua sang bayi, juga pengulu ritual serta keluarga terdekat.

Pada tahun 1755. Turunan dari KA Abudin yaitu Cakraningrat V yaitu KA Abudin dengan bakal calon Cakraningrat VI yaitu KA Usman. Mereka  berselisih paham sehingga harus berakhir di perang tanding yang disebut "begaris tana" (bertanding satu lawan satu) yang kemudian dimenangkan oleh KA Usman. Sebagai pihak yang kalah maka  KA Abudin diungsikan ke Palembang hingga wafat dan dimakamkan di sana.

Atas perang tanding itu kedua saudara ini bersumpah mufakat agar turunan mereka nantinya jangan bersengketa seperti mereka.  Maka untuk mewujudkan sumpah itu mereka menikahan anak mereka yaitu KA Muntie bin KA Abudin menikahi NA Busu binti KA Usman. Mempelai ini disyaratkan berdiam disebuah gunung guna menjaga tebu menjalong (tebu kuning) yang dipakai untuk ritual "tanggak tebu". Gunung itu kemudian dikenal dengan sebutan Gunung Tebu dan keluarga ini dikenal dengan sebutan "Bangsawan Gunong Petebu". Salah seorang keturunan bangsawan itu bernama KA Luso dimakamkan di gunong itu. Tebu menjalong yang  ada di situ telah ditanam oleh leluhur mereka yaitu Ki Ronggo Udo alias Syech Abu Sulaiman, alias Datuk Mayang gersik sang pendiri kerajaan.

F a s e    A k h i r

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun