Tradisi ritual menginisiasi kelahiran seorang bayi di masyarakat atau suku  di Nusantara memiliki cirinya masing masing. Begitupun di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tradisi tersebut dikenal dengan sebutan "Turun Tanggak Tebu". Namun tak semua golongan masyarakat Belitong melakukan ritual tersebut. Tradisi itu hanya di kalangan keluarga turunan Raja Belitong. Raja raja Belitong dikenal hingga akhir abad 19 adalah raja dari Kerajaan Balok. Kerajaan tersebut didirikan oleh Syech Abu Sulaiman alias Ki Ronggo Udo alias Rangga Uda, alias Datuk Mayang Gersik, seorang ulama yang pernah berdiam di Gersik Jawa Timur.
Ki Ronggo Udo pendiri Kerajaan Balok dan merupakan raja pertama kerajaan tersebut. Masa selanjutnya takhta kerajaan tersebut diserahkan kepada mantunya berasal dari Mataram yaitu Ki Gede Yakob alias Cakraningrat I yang memerintah di Balok tahun 1618 hingga 1661. Sedang raja terakhir dipimpin KA. Mohammad Saleh alias Cakraningrat IX memerintah di Tanjungpandan tahun 1856 hingga 1873. Pada masa pemerintahan "Cakraningrat" kerajaan ini dikenal dengan sebutan kerajaan Belitong.
Keturunan keluarga kerajaan Belitong ini memakai gelar KA atau Ki Agus untuk laki laki dan NA atau Nyi Ayu untuk perempuan. Gelar turunan tersebut tersebut berasal dari  Sultan Palembang diberikan kepada turunan Syeh Abu Sulaiman alias Datuk Mayang Gersik alias Ronggo Udo karena menikahi Putri Palembang bernama Nyi Ayu Tuning. Ronggo Udo yang menikahi NA Tuning memiliki anak bernama NA Siti Kusumah yang kemudian menikah dengan Ki Gede Yakob. Ki Gede Yakob juga memakai gelar KA atau Ki Agus. Perihal gelar adat turunan raja ini di atur dalam hukum adat Raja Belitong, juga tertera dalam aturan adat silsilah raja raja Belitong.
KA Gede Yakob alias Ki Gede Yakob inilah yang mula mentradisikan ritual "Turun Tanggak Tebu". Keturunan beliau selanjutnya sangat mudah dikenal sebab secara adat mereka memakai gelar adat secara turunan. Meski dalam pemakaian gelar tersebut di masa kini ada anggota keluarga yang tak melekatkan secara format pada identitasnya namun secara adat mereka tetaplah menyandangnya. Meski begitu, turunan tersebut  akan mudah diketahui apabila mereka tersebut melaksanakan adat tradsisi ritual "tutun tanggak tebu".  Namun di masa kini,  ada juga yang tak melaksanakan adat tersebut karena beberapa faktor, misalnya mereka yang tinggal di perantauan.
Â
F a s e  A w a l  R i t u a l  T r a d i s i  T u r u n  T a n g g a k  T e b uÂ
Berawal dari masa Cakraningrat I yaitu  KA Ki Gede Yakob 1618 hingga ke masa Cakraningrat IV yaitu masa KA Bustam. Ki Gede Yakob membawa tradisi ini dari Mataram. Menurut silsilah Raja Raja Belitong Ki Gede Yakob alias Kegedeh alias Kyai Mas'ud adalah anak Sultan Mangkub Mataram. Menikahnya Ki Gede Yakob dengan Nyi Ayu Siti Kusuma binti Syech Abu Sulaiman alias Ronggo Udo membuahkan anak pertama KA Abdullah alias Ki Mending, anak kedua NA Tenga, anak ketiga NA Busu.
Disebut tradisi "turun tanggak tebu" karena ritual memakai tangga yang dibuat dari batang tebu berwarna kuning yang lazim disebut tebu menjalong. Tangga tebu ini dibentuk hanya memakai dua anak tangga, ukurannya tak lebih dari tinggi 40 sentimeter dan lebar 30 sentimeter.
Cara membuatnya sangat sederhana dengan melobangi persegi sebanyak empat buah pada sisi tiang tangga, sedangkan pada anakan tangganya dibuat poros pasak seukuran lobang yang dibuat tadi, poros ini mesti meninggalkan sisi bagian kulitnya agar tangga tersebut kuat dan tentu saja ukurannya mesti sama dengan lobang di bagian tiang tangganya, itu agar tak longgar ketika disatukan. Supaya sambungan anak tangga dan tiang tangga tak lepas maka dipaku atau dipasak  memakai kulit tebu itu sendiri.
Setelah rangkaian tebu itu utuh menjadi tangga, selanjutnya dibalut dengan kain berwarna kuning. Awalnya, kain berwarna kuning merupakan selendang raja guna memberkati pasangan pengantin ketika ijab kabul pernikahan. Karena dipakai untuk memberkati mempelai menikah ia disebut kain "sting" tersebut biasanya ditudungkan ada pasangan mempelai tersebut hingga usai ijab kabul. Masa kini "sting" dipakai untuk menyebut pakaian adat pengantin Belitong.
Pada mulanya tentu kain warna kuning tersebut adalah hanya milik raja. karena raja pertama kali menurunkan ritual ini maka kelaziman warna tersebut mentradisi. Kain kuning tersebut bisa berbahan apa saja asal berwarna kuning, namun biasanya kain tersebut terbuat dari bahan terbaik dan ditenun secara istimewa. Selanjutnya pasangan pengantin yang menikah tidak lagi menggunakan kain sting milik raja tapi mereka miliki sendiri. Kain sting kuning milik sendiri inilah yang kemudian dipakai untuk membalut tangga tebu guna ritual menurunkan bayi mereka dari rumah hingga ke tanah.