Tradisi Budaya Bangka Belitung masihlah bertahan dari masa ke masa. Karena memiliki wilayah hukum adat pokok bukan sub adat. Â J.W.M Bakker SJ, menuliskan kembali dalam "Filsafat Kebudayaan" Â pada halaman 91 hingga 93, itu tentang "19 wilayah Hukum Adat Pokok di Nusantara yang memiliki struktur budaya mantab melalui zaman sampai ambang waktu sekarang, tidak lenyap oleh peradaban import". Dan wilayah Bangka dan Belitung tercatat dalam wilayah Hukum Adat ke 7 dari 19 wilayah hukum adat pokok tersebut.
Hukum Adat Pokok tersebut menandai bahwa Bangka Belitung memiliki ciri budaya tersendiri yang khas dalam aturannya termasuk tradisinya. Hukum adat mengenai tradisi telah melekat menjadi kearifan lokal, baik berkait pada alam, hubungan sosial, juga produk budaya. Kaitan tersebut dalam kebudayaannya tentu juga termasuk perihal "tradisi lisan".
Tradisi lisan menjadi pokok budaya yang tak terpisahkan dalam berbagai kelompok masyarakat (komunitas) di Bangka Belitung, menjadi menanda (tanda) atau identitas dari budaya lokal yang masih ada. Itu tentulah mesti dilestarikan mengingat bahwa dinamika kebudayaan tak mungkin dihindari yang dapat mengenyampingkan berbagai tradisi lisan yang ada bahkan menghilangkannya.
Apa pentingnya tradisi tradisi lisan. Ia sebagai menanda atau identitas sebuah komunitas. Sebab tradisi lisan merupakan penyampai "tanda tanda" secara lisan atau bunyian, kepada orang lain, makhluk tertentu, Tuhan, yang mentradisi serta memiliki keunikannya masing masing.
"Tanda tanda" tersebut adalah manipestasi dari perasaan dan pikiran dari pelaku tradisi lisan yang terdalam (batin) serta mulia (memiliki nilai luhur). Tanda tanda terdalam dan mulia tersebut terangkum dalam sebuah ungkapan atau rangkaian bunyian, atau kalimat yang mewujud dalam komunikasi, pemujaan, rasa terima kasih atau sikap tahu diri. Semua "tanda tanda" itu hanya dapat dirasakan secara empiris atau pengalaman antara pelaku dan pendengarnya.
Pelaku dan pendengar akan terhubung melalui bahasa. Umumnya tradisi lisan menggunakan bahasa Ibu, bahasa Melayu, bahasa Indonesia.
R a g a m    T r a d i s i   L i s a nÂ
Tradisi  Lisan Berkait sastra:
- Meandai andai: Tradisi melisankan "andai andai" (cerita dongeng juga cerita rakyat) terdapat di masyarakat Suku Jerieng Bangka Barat. Andai andai sering dilakukan sebagai pengantar tidur, juga dalam kumpul keluarga.
- Â
- Besyair: Adalah kegiatan melisankan syair dengn mendendangkannya. Nampaknya ini di Bangka Belitung sudah jarang terdengar. Besyair merupakan kegiatan individu kala sendirian baik seraya melakukan pekerjaan atau ketika beristirat. Syair yang dilisankan pada tergantung suasana hati si pesyairnya. Misal syair suasana hati yang gundah:
- Wahai bulan bercahaya
- hamba hanyalah sahaya
- menanti dayangku bila kah bersua
- agar ati hamba tak galau merana
- wahai bulan sampaikan segera
- kepada dayangku entah di mana....
- Dan seterusnya...
- Bepantun: Melisankan pantun biasanya secara perorangan atau bisa berkelompok. Tradisi berpantun seringkali sebagai pembuka atau penutup sebuah acara adat seperti melamar calon mempelai pengantin serta berbagai acara budaya lainnya. Namun saat ini acara acara resmi di pemerintahan Bangka Belitung sejak tahun 2000 mulai ditradisikan menggunakan berpantun. Melisankan pantun tentunya sudah memasyarakat; pantun sebagai media hiburan, komunikasi, menjadi perihal biasa dalam keseseharian di Bangka Belitung.
- Becerite atau Bercerita. Melisankan cerita rakyat merupakan bagian tradisi lokal yang sudah umum dari masa ke masa oleh orang Bangka Belitung. Tentu saja tradisi lisan ini banyak dilakukan ketika budaya tulis belum menjadi dominan di Bangka Belitung. Misalnya cerita rakyat "Raja Berekor" dari Belitung dituliskan mulai 7 Maret 1875. Sepengetahuan yang ada, ini merupakan teks cerita rakyat pertama dituliskan di Bangka Belitung, menggunakan huruf "Arab Melayu". Ragam Cerita Rakyat di Bangka Belitung tentunya ada di tiap tiap komunitas lokal masing masing masyarakat di tiap  kampung. Tentunya sebelum cerita itu ditulis maka ia masih dilisankan secara tradisi oleh masyarakatnya. Biasanya tak banyak orang yang hapal cerita cerita rakyat yang ada. Jika tak segera didokumentasikan tentunya lambat laun akan lenyap. Upaya melestarikan cerita rakyat bisa dalam bentuk teks, acara acara pentas budaya, serta tentu juga sebagai materi pelajaran sastra di sekolah sekolah.
Tradisi Lisan Berkait Ritual:
- Memantrai: Melisankan mantra (mantra merupakan rapalan, atau ayat tertentu dipercaya memiliki kekuatan gaib). Memantrai merupakan aktifitas ritual bersifat kebatinan dari seseorang untuk tujuan tertentu. Bermacam mantra di antaranya; mantra penglaris agar dagangan laris, mantra pengasih agar timbul cinta kasih, mantra penguat agar percaya diri karena ada kekuatan, mantra penunduk agar lawan atau saingan menjadi tunduk dan dikuasai, mantra penderas agar bisa jalan secepatnya, mantra pengusir antu, mantra pengusir hewan buas, mantra guna guna ( rasa pembenci, rasa penyayang) mantra santet (membuat orang celaka) dan berbagai mantra lainnya.Â
- Menjampik: Melisankan jampian (berupa rapalan lisan dari seorang dukun pengobatan) guna menyembuhkan seseorang dari sakit. Jampik jampik penyembuh secara umum misalnya: jampik ketulang, jampik sakit gigi, jampik kesambet (tekena), jampik sakit perut, jampik penguat semangat, dan berbagai jampik lainnya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa tertentu  hanya sang dukun sendiri yang paham.
- Menyucah: melisankan cucah (cucah semacam rapalan tertentu bersifat pribadi agar urusannya dimudahkan ). Misalnya 1, melisankan cucahan atau mengucapkan secara hikmat kata kata hormat kepada yang tak nampak di suatu pemukiman, dengan maksud agar pemilik atau penunggunya berkenan. 2, menyucahkan atau mengucapkan kepada benda benda tertentu agar benda tersebut tak diragukan untuk digunakan atau dipakai agar ia membawa berkah; misal melayarkan perahu, menggunakan parang, memasang bubu, dan lain sebagainya.
Betare. Melisankan atau mengungkapkan keinginan tertentu agar diizinkan. Tradisi ini umumnya ada di Belitung, yaitu sikap tahu diri atau rasa hormat seseorang ditujukan kepada seorang dituakan atau memiliki kewenangan yang berdaulat melindungi lingkup lingkungan wilayahnya, misal kepala keluarga atau sesepuh keluarga, ketua adat atau dukun kampong, kepala kampong atau kepala suku, juga kepala negeri atau raja. Tradisi itu dilakukan ketika seseorang meminta izin atau restu guna untuk melakukan kegiatan ritual, izin memasuki atau meninggalkan wilayah, ataupun hal penting lainnya. Mengapa kepada seorang yang "dituakan", betare beasal dari kata batara (sebutan untuk Maha Pencipta). Betare adalah sebuah sebuah proses untuk menghargai sang Maha Pencipta agar restu didapatkan.Biasanya seorang awam akan mewakilkan niatnya kepada orang orang tua yang paham mengenai "betare". Betare menjadi tradisi lisan agar hubungan kemuliaan  terjadi antar  generasi muda ke yang tua, antar sesame, antar alam, antar Tuhan.
Â