Mohon tunggu...
Ian Konjo
Ian Konjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku ingin belajar dari pengalaman hidup yang kulalui. Karena sesunguhnya, guru yang paling baik adalah diri sendiri!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

SESINGKAT CERITAKU

25 September 2011   15:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:37 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mentari pagi ini masih terasa hangat membelaiku. Tak ada yang kurasakan saat ini selain kehangatan itu. Kehampaan yang entah datangnya dari mana lalu membuyarkan segalanya.

“Berapa lama lagi ia bisa bertahan, Dok?”

“Hanya sekitar sebulan. Atau mungkin juga bisa lebih. Semua hanya Allah yang menentukan. Kami hanya memprediksikan saja. Dia harus banyak istirahat. Ia tidak boleh banyak pikiran. Beban pikiran yang banyak akan semakin memperpendek umurnya”.

Nafasku terengah-engah mendengar perkataan dokter spesialis yang tadi memeriksaku. Aku telah divonis atas penyakit yang kuderita. Itulah percakapan terakhir yang kudengar antara dokter dengan kakakku dari balik pintu. “Sebentar lagi aku benar-benar akan mati. Aku harus meninggalkan semuanya”. Dokter tak bisa berbuat apa-apa lagi. Keluargaku hanya diminta berdoa kepada Allah supaya penyakit yang kuderita bisa disembuhkan. Perasaanku kosong. Aku tak bisa meraksakan apa-apa lagi.

Dua bulan lalu, aku mulai merasakan sakit yang teramat di bagian kepala dan punggungku. Penyakit ini kusembunyikan dari orang tuaku, teman-temanku, sahabatku, bahkan aku merahasiakan penyakitku ini dari orang yang sangat kucintai. Aku tak ingin seorangpun tahu atas apa yang kuderita. Aku tak ingin menyusahkan orang lain.

Sebenarnya, penyakit ini telah lama sekali bermukim di tubuhku. Namun aku tak pernah memperdulikannya.“Mungkin hanya sakit kepala biasa. Sebentar juga sembuh sendiri”, anggapku. Orang-orang yang dekat denganku pun beranggapan demikian karena selama ini aku tak pernah terlihat seperti orang yang sedang menderita penyakit akut. Aku selalu berusaha agar tidak terlihat seperti seorang penderita penyakit meski aku harus menahan segala sakit yang menyerangku dengan sekuat tenagaku.

Sebagai seorang karyawan bagian administrasi yang sering begadang dan sering terlalu lama berhadapan dengan komputer, ketahanan tubuhku jadi menurun. Bahkan pernah aku jatuh pingsang di rumah salah seorang teman seusai melaksanakan shalat maghrib. Aku benar-benar tak bisa melawan penyakitku malam itu. Ketika ditanya, aku mencoba mencari alasan agar tak diketahui kalau aku sedang sakit keras. Aku beralasan kalau sudah dua malam ini aku tak pernah tidur banyak. Lagi-lagi aku berbohong untuk menyembunyikan penyakitku.

Kejadian itu bukan yang pertama kalinya menimpaku. Di tempat yang aku tinggali dulu, sering juga kualami hal seperti ini. Kepalaku sering terasa ingin pecah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya merintih kesakitan. Aku tak bisa meminta tolong kepada siapapun. Dan yang lebih parah lagi, penyakitku itu biasanya kambuh saat teman-teman serumahku sedang tidak ada di rumah. Artinya, aku sedang sendirian saja. Tak ada yang mendampingiku dan tak ada yang bisa ke apotek untuk membelikanku obat. Aku benar-benar seperti orang yang sekarat.

Sakit kepalaku terkadang membuatku tak bisa berkutik. Tak peduli dalam keadaan apapun. Penyakit yang tak pernah berhenti mematuk kepalaku. Beberapa bulan terakhir ini, penyakit itu teramat sering menimpaku. Apalagi sejak sang kekasih yang sangat kucinta dan kusayangi memutuskan untuk meninggalkanku. Beban pikiranku semakin bertambah. Aku terpaksa berpikir keras dan berusaha untuk terlihat tegar meski hatiku menjerit. Dan tak pernah ada yang mendengar jeritanku. Tak ada.

Sepulang dari rumah sakit, aku hanya banyak diam. Kakakku dari tadi rupanya sudah memperhatikan tingkahku.

“Kamu kenapa?”, tanyanya. Aku masih saja terdiam. Tiba-tiba bayangan malaikat maut memenuhi pikiranku. Aku gemetar. Seluruh tubuhku terasa dingin.

“Sebentar lagi aku akan mati kan?”, ucapku dengan kepala tertunduk. “Aku sudah tidak punya harapan untuk hidup lebih lama lagi kan?” Ia diam dan tak berkata apa-apa. Kakak hanya memegang pundakku. Rasanya aku ingin menangis tapi wajah manis sang kekasih yang telah meninggalkanku membuat air mataku tak bisa tertumpah. Aku pasrah pada penyakit yang mungkin sebentar lagi akan memisahkan antara roh dan jasadku.

Mobil masih terus melaju menuju ke rumah. Aku menatap hampa setiap jengkal jalan yang terlewati. Aku tak mengerti apa yang ada dalam benakku.

“Bersabarlah. Tak ada penyakit di dunia ini yang tak ada obatnya”, katanya mencoba memberiku semangat.

“Dan penyakitku ini akan terobati dengan kematian, begitu kan?”

Aku tak bisa lagi membendung air mataku. Bukan hanya karena penyakitku ini, tapi juga perih yang kurasakan karena patah hati. Lengkaplah sudah deritaku.“Kekasihku, aku sungguh merindukanmu berada di dekatku di saat-saat seperti ini”, ratap hatiku mengenang sang kekasih yang kucintai sepenuh jiwaku. Setelah itu aku kembali terdiam menatap jalan berdebu hingga sampai di rumah.

Hari-hari berlalu. Selama dua minggu ini, aku lebih banyak mengurung diri dalam kamar dan merenung. Merenungi tentang cobaan yang kini menyambut langkahku.“Kesalahan apa yang telah kuperbuat sehingga aku mengalami masa-masa seperti ini? Apakah aku masih bisa tersenyum seperti ketika aku dan kekasihku menanti senja di tepi pantai? Menunggu matahari terbenam sambil bercanda ria?”Kini semua itu terasa menjadi mustahil setelah apa yang kudengar dari dokter beberapa hari yang lalu. Menurut ilmu kedokteran, aku hanya bisa bertahan sekitar sebulan saja. Dua minggu adalah waktu yang sangat singkat untuk hidupku saat ini. Penyakit yang bersarang di kepalaku belum juga menunjukkan perkembangan untuk sembuh. Mungkin karena pikiranku yang dipenuhi dengan berbagai macam masalah yang sedang kuhadapi.

Hari ini, aku kembali diperbudak penyakitku. Sakit kepala yang tak bisa lagi kutahan seperti sebulan lalu. Bahkan terbilang sangat parah. Aku juga muntah-muntah. Untung saja, orang yang selalu kuharapkan kedatangannya ada di dekatku. Jadi, penyakitku bisa cepat terobati meski bukan untuk penyembuhan. Semangatku untuk tetap hidup dan bisa membuatnya bahagia seolah membuatku tak merasakan penyakit yang mendatangiku. Tubuhku terasa dinaungi pohon rimbun yang selalu menyejukkanku. Aku merasakan hawa sejuk memenuhi seluruh tubuhku. Perlahan senyumnya meniadakan rasa sakit yang kurasakan. Walau lagi-lagi hanya sesaat.

Kapan semua ini akan berakhir? Haruskah aku merasakan lebih banyak lagi penderitaan ini? Betapa aku merasa semua cobaan, teguran, ataupun kutukan yang menimpaku enggan menjauh dari diriku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun