Masih manapaki lorong-lorong sepi sendiri tanpa cahaya bulan. Merintih dalam penat dan lelah yang tak berujung. Menanti matahari terbit dari ufuk timur. Berlari meninggalkan senja dan berharap senyum pagi esok hari akan menemaninya melukis cakrawala. Bersanding bersama embun yang selalu setia menyegari dedaunan. Menjadi penyejuk kala fajar menampakkan parasnya. Semoga saja hujan deras tak mengguyur jagad raya hari ini. Sebab, embun akan malu-malu tampakkan indahnya di atas daun-daun hijau.
Kurangkai puisi untukmu. Berharap, kau menyapku dengan senyum. Karena aku telah merelakan hatiku pada detak jantung. Kulantunkan syair indah untukmu. Berharap, kau menghadiahkan rindu padaku. Karena aku telah menitip asa pada tiap doaku untukmu.
***
Kicau burung-burung menyambut pagi yang baru saja berparas. Wandi tak pernah berpikir tentang hidup yang terdampar di tepi tawanya sendiri. Pikirannya sekalipun tak pernah menyentuh jalan itu. Jalan yang membuat Wandi tersesat. Wandi kehilangan pijakan di jagad ini. Kekecewaan yang menggunung dalam dadanya selalu dihanyutkan pada kegembiraan sesaat meski hanya berpura-pura. Tapi, hatinya tak pernah bisa menghindar. Seolah tak ingin lepas. Yah, kecewa itu kini menjadi bayangannya.
Cahaya matahari mulai mengusik embun yang memeluk dedaunan. Biasnya pun mulai menyengat tubuh mungil yang masih terbaring di tempat tidur. Perlahan Wandi membuka mata. Menatap jendela kamarnya dan berharap bisa melihat bayangan kebahagiaan di sana. Di mana cinta yang selalu menemaniku menunggu matahari terbangun dari tidurnya? Mengapa ia raib ditelan malam tanpa pamit? Apa salahku? Aku sadar, aku hanya seorang lelaki yang biasa-biasa saja. Tak satupun yang aku punya. Harta? Aku ini hanya orang miskin yang tak mempunyai apa-apa. Ketampanan? Apalagi itu. Tapi, aku tetap bersyukur karena tuhan masih memberiku nafas untuk menghirup udara segar kala fajar datang tanpa ditemani seseorang yang sangat aku sayangi. Meski keindahan itu tak pernah lagi terasa sejak perempuan itu menanam luka pada dinding hatiku. Perih dan teramat sakit.
***
Pertemuan Wandi dengan seorang perempuan berlesung pipi yang membuat jantungnya berdetak kencang adalah yang terindah selama hidupnya. Seindah warna pelangi, Wandi pun menganggap dunia seperti itu. Detik demi detik berlari menggapai menit yang berjalan melewati setiap persinggahan pagi dan senja. Deretan jam pun mengawal pergantian siang dan malam. Hari-hari terlewati dengan sejuta canda dan tawa bahagia. Wandi menjalani hidupnya tanpa beban sedikitpun dalam pikirannya. Semua indah. Wandi jatuh cinta pada perempuan itu. Perempuan yang selalu mengikutinya ke manapun ia melangkah dan di manapun ia berada. Namanya telah melekat dan mengakar dalam pikirannya. Perempuan yang mungkin menjadi kekasihnya kelak.
Saat itu, Wandi masih menggunakan seragam merah putih. Masih kelas empat esde. Perasaan suka pada Fitri yang kini memenuhi pikirannya tak pernah diungkapkannya. Mungkin karena usia yang masih sangat muda. Ia hanya mengendapkan perasaan itu dalam hatinya. Meskipun banyak teman-teman sekelasnya yang mengatakan kalau cintanya itu tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi, Wandi tetap dengan sikapnya yang beku. Tak ada perubahan sikap dan tergoda untuk menyatakan cintanya pada Fitri.
Cukup lama Wandi memendam perasaannya hingga mereka berdua lulus pada sekolah lanjutan tingkat pertama. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menyimpan rasa cinta yang mungkin tak akan pernah bisa diungkapkan. Setiap hari Wandi hanya memandangnya dikejauhan tanpa bisa mendekatinya dan menawarkan seonggok hati untuknya. Hati yang menumbuhkan bunga-bunga berkelopakkan rindu. Ia tak juga bisa merangkainya lalu menyisipkan di sela-sela rambut yang tergerai indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H