Sebagai sosok yang dikenal sebagai pembaharu dalam dunia Islam, Muhammad Abduh (1849 M - 1905 M) merupakan tokoh reformis dengan tingkat intelektualitas yang sangat tinggi. Di usia 14 tahun, Abduh telah berstatus seorang hafidzul Qur'an. Namun, siapa sangka di usia yang masih sangat muda itu Abduh memilih keluar dari sekolahnya. Alasannya sederhana, tapi agak lain. Yaitu, Abduh muda "benci" belajar dengan cara menghafal.
Ya, begitulah Muhammad Abduh. Kritikannya terhadap metode hafalan  terbawa ke dalam Universitas Al-Azhar saat dirinya menjadi dosen filsafat dan teologi. Jika melihat sepak terjang Abduh yang selalu menekankan rasionalitas berpikir dan berdialiktika, tentu dalam ruang seperti itu tidak ada tempat bagi metode hafalan. Abduh menilai memahami sesuatu jauh lebih baik ketimbang dihafalkan.
Kritikan Muhammad Abduh terhadap metode menghafal dalam belajar, menurut saya adalah suatu kemewahan. Mewah karena cara yang paling baik dalam belajar adalah bagaimana memahami sesuatu. Menghafal tidak lebih baik dari memahami. Bukan tidak boleh menghafal, akan tetapi kemampuan menghafal bisa saja menjadi sebuah kelemahan jika tidak diimbangi dengan kemampuan memahami.
Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makrim, kurang lebih pernah menyebutkan bahwa 'jago menghafal' adalah kompetensi yang tidak dibutuhkan di masa depan. Kompleksitas tantangan zaman yang  dihadapi ummat manusia sekarang ini, dan jauh ke depan justru mengarah pada kemampuan memahami suatu pola dari sebuah masalah dan memahami konsep bacaan (literasi).
Tantangan zaman yang semakin kompleks sulit dijawab dan ditemukan solusinya dengan kompetensi hafalan. Saya ingin berbagi sedikit pengalaman. Sebagai seorang guru di sebuah pesantren, saya pernah menawarkan ke anak-anak santri kelas XI dan XII untuk ujian dengan cara tampil melakukan presentasi di depan saya sebagai guru penguji. Saya juga akan memberikan beberapa pertanyaan yang di mana jawaban mereka menjadi bukti jika mereka betul-betul memahami materi. Bukan menghafal materi. Tawar saya ketika itu.
Sayangnya, tawaran itu ditolak oleh mereka. Mereka mengetahui akan gagap saat harus menjawab pertanyaan saya. Sebab, melalui jawaban mereka atas pertanyaan saya, akan nampak apakah presentasi mereka didasarkan pada kemampuan memahami atau menghafal materi. Sampai di sini, kita tidak perlu heran betapa banyaknya mahasiswa yang kewalahan jika diminta melakukan presentasi. Hal itu terjadi karena mereka tidak dibiasakan memahami suatu materi saat mereka masih duduk di bangku SMA.
Bayangkan, akankah kita mengenal teori Relativitas Umum dalam ilmu Fisika jika Albert Einstein sekedar menghafal materi yang diberikan dosennya? Mungkin kita juga tidak akan pernah mengenal pesawat terbang, jika Orville Wright dan Wilbur Wright sekedar menghafal nama-nama alat yang menjadi sistem dan mekanisme pesawat. Atau bisa saja kita tidak akan pernah terpukau dengan kemegahan buku Madilog karya Tan Malaka, jika Tan Malaka cuma sekedar menghafal materi-materi Sosial-Politik yang dipelajarinya. Semua itu, mereka lakukan dengan pemikiran dan memahami pola suatu masalah. Bukan dengan hafalan.
Sehingga, kemampuan menghafal tidak cukup jitu menjawab tantangan zaman, maka jago menghafal bukanlah suatu kelebihan. Justru bisa saja menjadi kekurangan. Belasan abad yang lalu, kompetensi hafalan dibutuhkan karena belum cukup banyak orang yang mampu menulis.
Sehingga sebagai sebuah metode, menghafal merupakan cara yang sudah cukup usang dan ketinggalan zaman dalam proses pembelajaran di zaman seperti sekarang ini.
Artikel ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk larangan menghafal. Menghafal tentu boleh dan sah untuk dilakukan. Namun, di lain sisi kita juga tidak bisa menutup diri bahwa, sebagai metode belajar, menghafal tidak cukup baik dibandingkan memahami pelajaran. Percayalah, mereka yang memiliki wawasan yang luas, Â mampu berkarya, kreatif dan inovatif, kemampuan itu mereka peroleh dengan cara memahami sesuatu dengan baik. Bukan dengan membanggakan kemampuan menghafal atau banyaknya hafalan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H