Pasca serangan 'barbar' Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di Baghouz, ISIS dinyatakan kalah total. Negara Khilafah bentukan Abu Bakar Al-Baghdadi ini menemui ajalnya di usia 1.737 hari. Usia yang relatif singkat. Namun, kita semua tahu bahwa penderitaan yang disebabkan ISIS tak sesingkat usianya. ISIS bisa jadi mati, tetapi derita kemanusiaan yang diakibatkan ISIS masih hidup hingga kini.
Penderitaan itu tidak hanya dirasakan oleh orang-orang yang bersebrangan paham dengan ISIS, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang satu haluan dengan ISIS. Jeritan penderitaan itu bergema dari Kamp Al Hol, Suriah. Tempat di mana anak dan istri mantan kombatan ISIS ditampung pasca kekalahan ISIS.
Mereka kelaparan, berpotensi terkena penyakit, bahkan tak jarang terjadi konflik berujung kematian sesama mereka. Mungkin ini merupakan harga mahal yang harus mereka bayar akibat pilihan sadar mereka sendiri. Tak terkecuali dengan Warga Negara Indonesia (WNI) yang kini ikut terisolasi di Kamp Al Hol tersebut.
Saya tidak tahu pasti ada berapa jumlah WNI yang terkonsentrasi di Kamp Al Hol. Namun, satu yang pasti adalah, mereka mengemis belas kasih pemerintah Indonesia agar mereka dipulangkan ke Tanah Air.
Akibatnya, Indonesia dirundung dilema. Pro dan kontra bermunculan menghiasi sosial media. Pendapat di pemeritahan terbelah, kalangan akar rumput pun mencoba menerka, apa kira-kira yang akan terjadi jika pemerintah memenuhi keinginan mereka untuk balik ke Indonesia?
Satu hal yang perlu digaris bawahi. Yakni, keharmonisan Indonesia tidak sekali atau dua kali tercabik-cabik oleh aksi terorisme. Di tahun 2018, kita kejutkan dengan aksi terorisme yang menargetkan beberapa gereja di Surabaya. Dua tahun sebelum itu, Samarinda turut diguncang bom dengan target yang sama, gereja. Pelakunya juga sama, sama-sama simpatisan ISIS.
Adalah wajar, jika kemudian suara penolakan terkait pemulangan WNI eks ISIS menggema sedemikian riuh. Bagaimana dengan soal Hak Asasi Manusia?Â
Mari merenung, pernah kah para pelaku teror itu meletakkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai sesuatu yang sangat urgen? Mari berpikir lebih dalam, aksi teror seperti itu bertumpu pada agama, bagaimana mungkin agama yang memuat pesan-pesan perdamaian justru diselewengkan untuk aksi yang destruktif?
Syukurlah, Presiden Jokowi menolak pemulangan eks ISIS tersebut. Walau pun kita tahu bahwa penolakan tersebut belum berujung pada kesepakatan yang bulat.
Merawat keharmonisan dan kebhinekaan itu bukan sesuatu yang mudah, kawan. Lebih baik kita mengantisipasi acamam itu ketimbang mengobati luka yang sama.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H