Mohon tunggu...
Ianawati shaleha
Ianawati shaleha Mohon Tunggu... Freelancer - Pebisnis herbal dan penulis

Pebisnis herbal HNI HPAI, Penulis buku Antologi cahaya hijrah,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nostalgia di Kota Tua

25 Februari 2020   20:35 Diperbarui: 26 Februari 2020   20:57 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di suatu pagi yang menoreh luka,               Butiran embun masih menempel pada tanaman dan dedaunan yang tumbuh subur di antara pemukiman kota tua.                                          

Udara masih segar karena kekayaan oksigennya.                                                          

Sunrise di pegunungan Anjasmoro masih menyimpan kecantikannya, hingga nyaris membuat takjub tiap mata yang memandang. Di sebuah warung biru, tempat kuliner yang amat terkenal di kota tua.

"Sego pincuk, jangan kikil, iwak empal"

Tak kusadari itulah pertemuan pertama setelah belasan tahun aku harus meninggalkan kota tua.                                                                   

Menyambut hari hari ke depan dengan secercah harapan.

Menyambut impian yang melambung tanpa batas, hingga menembus dimensi kehidupan yang berbeda
Atas dasar pengabdian kutinggalkan segalanya.
Berbekal ilmu dan keyakinan kupasrahkan segalanya.
Azzam dan tawakkal menguatkan tiap langkah, menapaki waktu hingga sampai pada  detik ini.
Lalu...
Samar samar suara itu semakin lekat, terdengar diantara kerumunan orang orang.
Nada dan intonasi yang pernah terekam..
Nyaris tak percaya, tersentak kaget sejenak kala mata memandang, "kamu!" pikirku
Mulut terkunci, rasa bersalah menyeruak
Kupaksakan senyum yang terkesan hambar
Aku tahu kamu tahu
Bengong seketika, sebelum lanjut bicara
"Apa kabar kamu, apakah kamu sudah menetap kembali di sini"
Pertanyaan basa basi terlontar akhirnya, diantara kecamuknya pikiran.
"Ya" jawabmu pendek.
"Tumben, kenapa kamu kembali ke kota tua?" lanjutmu
"Yah, ada acara keluarga" sahutku pelan dengan sesekali kuberanikan diri menatapmu.

Postur tubuh yang berubah,
Dulu tinggi semampai dan atletis, kini tampak tambun.
Bentuk mata kacang almond yang dulu indah, kini tampak menyipit,  tertutup wajahmu yang semakin tembem bulat.
Hanya satu yang tak berubah, kamu tetap familiar dan mengayomi mereka yang tampak lemah, meski saat ini kamu berada di puncak karir yang mempesona.

Tahukah kamu, itu sudah cukup membuatku sejenak tersenyum, melepaskan segenap rasa dan luka yang pernah singgah.

Malang, 25 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun