Mohon tunggu...
Ianathasya Sinulingga
Ianathasya Sinulingga Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi FKM UI 2011

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Obat BPJS Kosong, Salah Siapa?

2 Januari 2015   06:50 Diperbarui: 4 April 2017   17:03 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Obat menjadi salah satu unsur yang penting dalam pelaksanaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Ketika pasien datang ke fasilitas kesehatan (faskes) untuk memeriksakan kondisinya, dokter kemudian akan memberikan resep obat. Resep tersebut kemudian ditebus dan peserta BPJS kemudian akan mendapatkan obat.

PROGRAM RUJUK BALIK

Seperti halnya dengan obat pada Pelayanan Rujuk Balik (PRB) yang diadakan oleh BPJS Kesehatan. PRB merupakan pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan penderita penyakit kronis yang sudah terkontrol/stabil namun masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan dalam jangka panjang yang dilaksanakan di Faskes Tingkat Pertama atas rekomendasi dari dokter spesialis/sub-spesialis yang merawat.[1] Terdapat 9 penyakit kronis yang termasuk dalam PRB antara lain diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), epilepsy, stroke, schizophrenia, Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Ketika menjadi peserta PRB, maka peserta melakukan kontrol ke Faskes Tingkat Pertama (Puskesmas, Klinik, atau dokter keluarga – tempatnya terdaftar) selama 3 bulan berturut-turut. Setelah 3 bulan peserta dapat dirujuk kembali oleh Faskes Tingkat Pertama ke Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan (rumah sakit) untuk dilakukan evaluasi oleh dokter spesialis/sub-spesialis.

Saat melakukan kontrol di Faskes Tingkat Pertama, peserta memperoleh obat PRB di Apotek yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Obat PRB diberikan untuk kebutuhan maksimal 30 hari. Sedangkan saat melakukan kontrol di Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan, peserta mendapat obat di Apotek rumah sakit bersangkutan untuk kebutuhan 7 hari. Sedangkan obat kebutuhan obat 23 hari lainnya diberikan di Apotek yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan.

PELAYANAN OBAT

Seringkali kita mendengar berita, cerita, dan bahkan pengalaman pribadi tentang obat kosong di Apotek. Berdasarkan penelitian penulis, memang benar masih ditemui adanya obat BPJS yang kosong, khususnya obat PRB. Pada salah satu Apotek (Apotek X) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, diketahui 57 kali obat PRB kosong pada Juni 2014, 27 kali pada Juli 2014, dan 20 kali pada Agustus 2014. Cenderung turun memang jumlahnya, namun mengapa masih saja terdapat obat yang kosong? Bukankah BPJS Kesehatan menjamin kebutuhan obat PRB? Seperti yang tertulis dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 pada pasal 25.

“BPJS Kesehatan menjamin kebutuhan obat program rujuk balik melalui Apotek atau depo farmasi Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan”[2]

Terjadinya kekosongan obat dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pengadaan obat memakan waktu yang lama sehingga sempat terjadi obat kosong di Apotek. Kedua, disebabkan oleh kosongnya obat pada distributor. Distributor yang sudah masuk dalam e-catalogue tentu sudah dikontrak untuk dapat memenuhi kebutuhan obat, tetapi mengapa mereka tidak dapat terus konsisten menyediakan obat? Mungkin karena harga yang ditetapkan Pemerintah terlalu rendah. Ya, bisa saja. Distibutor enggan menjual obatnya karena obat dibeli dengan harga yang murah.

Apotek X tidak hanya melayani peserta BPJS Kesehatan saja, tetapi juga peserta dari asuransi lain, dan melayani masyarakat umum. Ketika melakukan pengadaan obat untuk peserta asuransi lain (harga obat berbeda dengan harga untuk obat BPJS), obat pada distributor tersedia. Tetapi ketika melakukan pengadaan obat untuk peserta BPJS (harga obat berdasarkan e-catalogue), obat pada distributor kosong. Mengapa demikian? Padahal pengadaan obat dilakukan oleh badan yang sama, dan waktu yang sama juga.

Kurangnya pengawasan dari pihak yang berwenang menyebabkan hal yang demikian terjadi. Tidak ada monitoring maupun sanksi yang diberikan kepada distributor bila melakukan hal tersebut.

Yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah mengevaluasi kembali perjanjian kerjasama antara pemerintah dan distributor obat. Apakah sudah tertulis bahwa distributor obat menyanggupi pembelian obat dengan harga yang sudah ditentukan. Jangan karena harga murah, pada akhirnya distributor tidak memproduksi obat tersebut. Melakukan pengawasan secara terus menerus terhadap proses pengadaan obat. Dan memberikan sanksi bila ditemukan kejadian seperti diatas.

[1] Panduan Praktis Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN. BPJS Kesehatan: Jakarta

[2] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun