Saya hanya ingin bercerita pengalaman salah seorang kawan yang menjadi korban keretakan hubungan orang tuanya. Bukannya ingin menceritakan aib orang lain, namun bagi saya pribadi yang belum menikah cerita ini benar2 saya jadikan bahan pelajaran untuk bekal pernikahan saya kelak.
Sebut saja namanya Gracia. Ia berumur 19 tahun saat ini, kuliah di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Saat ia lahir hingga berumur 7 atau 8 tahun ia hidup bahagia dengan org tuanya di kawasan Tangerang. Hingga tahun 2002 silam orang tuanya mengalami “peperangan” hebat, dan ia beserta seorang adiknya dibawa pergi sang Ibu ke Samarinda, Kalimantan Timur.
Kami para tetangga, minimal saya yang saat itu masih berumur 14 tahun tidak tahu pasti apa sebab keluarga tersebut hancur. Padahal, keluarganya terbilang harmonis dan religious di mata para tetangga.
Kami pun tak mengetahui sama sekali kemana Gracia dibawa pergi oleh ibunya. Yang jelas setelah kepergian itu, ayahnya berubah 180 derajat. Memang, ayahnya terkenal pendiam, namun sejak kejadian itu, ayahnya semakin tertutup pada lingkungan. Orang tua saya, dan beberapa teman 1 gerejanya berusaha mencari tahu apa yg sesungguhnya terjadi.
Singkat cerita setelah hampir 10 tahun berpisah dengan Gracia, sang ayah yang memang pernah menjalani operasi jantung dan punya asma meninggal dalam tidurnya di malam hari. Mengenaskan. Tanpa ditemani siapapun, tanpa berobat karena ketiadaan dana ia merengang nyawa di ruang tamu rumahnya.
Kami semua sungguh miris melihatnya. Selama 10 tahun ia berusaha menghubungi Gracia dan istrinya, namun gagal dan berakhir dengan kematian.
Saya berpikir, apakah Gracia tidak ingat ayahnya selama 10 tahun ini? Apakah begitu hebatnya si Ibu mencuci otak anaknya sehingga anak-anaknya lupa sama sekali dengan ayah kandung mereka?
Ternyata tidak. Menjelang perayaan 40 hari wafat ayahnya, gracia seorang diri datang ke rumah tempat ia dilahirkan, menghabiskan masa kecilnya. Tatapannya kosong, seolah ingin mengingat sesuatu yang besar, Langkahnya gontai seperti ingin masuk tapi dihantui rasa takut yang teramat sangat, mulutnya membisu seakan penuh tanya tapi tak mampu berkata.
Saya yang melihat kedatangannya yang tiba-tiba sungguh terkejut. Ibu-ibu sekitar rumah kami yang menyambutnya tak pelak mencucurkan air mata. Sungguh, tingkah laku Gracia sulit digambarkan dengan kata-kata.
Setelah itu saya sempatkan diri ngobrol2 dengan Gracia. Tentu bukannya mau mengorek masa lalunya, hanya sekedar ngobrol ngalor ngidul layaknya teman akrab. Ditengah pembicaraan kami, Gracia dengan sendirinya bercerita soal ayah yang ditinggalkannya selama 10 tahun. Hampir semua yang ia ceritakan bernada negative, misalnya ia bilang, “habis kata mama papa itu main MLM terus,itu kan ga bagus, kata mama papa itu susah dibilangin,………” Dari cerita itu saya menyimpulkan bahwa memang anak ini mengalami “pencucian otak” oleh Ibunya.
Tapi walau bagaimanapun, anak adalah anak dan hubungan batin tidak akan pernah bisa dipisahkan. Buktinya, alam semesta benar-benar ingin menyatukan hubungan batin Ayah-anak ini walaupun sang ayah telah tiada. Contoh, saat ingin meneruskan kuliah, Gracia menerima beasiswa di salah satu Universitas di kawasan serpong, yang notabene tidak jauh dari rumah si ayah. Namun tanpa alasan yang jelas juga sang Ibu tak mengijinkan gracia untuk kuliah di tempat itu. Alam semesta gagal mengembalikan Gracia ke tempat ia dilahirkan.
Kemudian saat Gracia kembali ke rumah masa kecilnya, ia sama sekali tidak kesasar. Padahal selama 10 tahun pergi, ia tak pernah sedikitpun menginjakan kaki di rumahnya itu. Inilah bukti bahwa Tuhan memang mahabesar.
Malam harinya, umat lingkungan mengadakan doa arwah mengenang 40 hari wafat ayahnya. Di situ Gracia tak henti menangis. Saat ditanya, kenapa menangis ia bercerita begini:
“Saya punya cita-cita paling besar yaitu mau ketemu papa pas saya sudah kerja dan sudah sukses. Selama 10 tahun saya memang tidak boleh menghubungi siapapun yang berhubungan dengan papa. Saya mau kuliah di sini (Tangerang) juga tidak boleh. Ternyata cita-cita itu tidak terwujud. Saya belum sukses, Papa sudah meninggal. Saya sedih sekali. Ternyata papa tidak seperti yang Mama katakan.”
Kami semua terdiam menyelami dan membayangkan bagaimana campur aduknya perasaan Gracia. Ini membuktikan bahwa seberapa besar pun usaha seseorang memutuskan hubungan antara anak dan orang tuanya, pasti tidak akan berhasil. Hubungan batin yang memang di luar logika memiliki ingatan, perasaan yang tidak bisa dihapus oleh apapun.
Terima kasih Gracia, kami banyak belajar dari kamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H