Jurnalis. Impian sebagian besar kalangan muda kita. Siapa yang tak mau jadi jurnalis, banyak keistimewaan yang didapat dari profesi ini. Kemudahan akses ke birokrasi pemerintahan, kelonggaran waktu untuk mencari “pendapatan” sampingan, dan kebebasan berekspresi yang luas menjadikan jurnalis sebagai masa depan impian, terutama bagi pemuda-pemuda idealis.
Salah satu teman ditanya kenapa mau jadi jurnalis? Jawabannya sangat mudah, “bisa jalan-jalan gratis, makan gratis, nggak bisa ditilang pula,” katanya.
Memang demikian adanya, jurnalis memiliki sedikit “kekebalan hokum” dan keistimewaan lebih dari manusia biasa. Namun kinerja jurnalis saat ini perlu dikritisi.
Inilah pengalaman saya. Saya bekerja di sebuah perusahaan property yang bisa dibilang terbesar di Indonesia. Perusahaan ini menaruh perhatian khusus pada dunia kewirausahaan. Sebagai bentuk perhatiannya, perusahaan ini membuat divisi khusus untuk training kewirausahaan kepada masyarakat luas.
Selain itu, mereka juga membuat media online khusus untuk kewirausahaan. Kebetulan saya salah satu personil di dalamnya, yang katanya jadi jurnalis. Namun apa yang saya lihat? Semua yang duduk di jajaran editorial, dari pemred, hingga reporter ecek-ecek tidak ada yang pernah melakukan liputan keluar.
Lalu kemudian apa yang dilakukan selama jam kerja? Buka seluruh portal berita dalam dan luar negeri, cari berita soal kewirausahaan, mulai dari profil usaha hingga konsultasi bisnis, copy beritanya, dan paste untuk konten berita di website tersebut.
Kalau boleh dikira-kira, 95% dari isi portal ini adalah hasil copy paste. Sama sekali tidak ada agenda media, proyeksi berita, dan lain sebagainya. Bahkan berita yang di copy tidak sama sekali diedit dan disesuaikan gaya bahasanya. Miris!
Lebih parah lagi, saat reporter ingin keluar liputan malah dipersulit dengan perizinan, mesti izin atasan-atasan, bikin surat tugas dan tanda tangan dulu. Apakah yang seperti ini pantas dibilang jurnalis? Menurut saya lebih pantas kalau disebut “Content Writer”.
Saya tidak ingin menjatuhkan perusahaan yang telah memberi saya makan. Tapi saya prihatin…(macam pak Beye saja, pakai “Prihatin” segala.haha..) dengan kualitas kerja seperti ini. Bukan hanya tempat saya ternyata, banyak website-website sejenis yang mengklaim dirinya media massa online, mencari iklan, tapi isinya rata-rata hanya copy paste.
Perbedaan media “bodrek” ini dengan media massa aslinya biasanya dapat dilihat dari susunan redaksinya. Pada media massa asli, susunan redaksi jelas, ada pemred, redaktur, asisten redaktur, wartawan. Sedangkan pada website ecek-ecek ini susunannya tidak jelas.
Mengenai isi web misalnya, meia massa biasanya purah arah yang jelas setiap hari mau mengangkat apa, ada headlinenya, rubric-rubrik disusun rapih sehingga memudahkan pembaca dalam mencari berita. Di media online ecek-ecek tidak demikian, semua berita dijadikan 1, tidak ada headline khusus. Kalaupun ada rubrik, isinya kadang “ngawur”, lepas dari kontennya.
Beginilah kalau izin penyiaran terlalu longgar, semua orang berhak mengklaim diri sebagai jurnalis. Tiap orang, dengan uang yang mereka punya, apalagi nama besar yang sudah di tangan bisa mendirikan media massa.
Efeknya jelas, jurnalis Cuma punya mental copy paste!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H