Gadis itu,dia menari ria diantara para demonstran. Berjalan kesana kemari, memotret setiap momen kemarahan para manusia. Sesekali dia ketakutan. Yap ketakutan.
Tidak jauh dari fly over, berdiri sebuah menara pena milik perusahaan Fajar. Sebuah perusahaan media yang cukup besar di Makassar, gedungnya cukup untuk mengintai se-kota Makassar.
Gedung itu nampak seorang berbaju hitam, berpakaian siap perang, memegang sniper, bersiaga kapan saja menembakkan peluru apinya. Si Gadis mendatangiku yang sedang berkumpul dengan massa aksi (kami sedang membahas tehnis), dengan tangan gemetarnya. Si Gadis memperlihatkan gambar di ponselnya yang secara buram menunjukkan penampakan itu.
Saya, kami, menengok ke arah timur. Arah gedung pena. Benar ada seorang yang sedang bersiaga. Si Gadis bahkan tidak berani menatap, tangannya masih gemetar, matanya sedikit berkaca.
Saya hanya menenangkannya,
"Mereka sedang bersiaga, Ibu Negara datang!"
Si Gadis pergi dari penglihatanku. Ia tetiba menghilang di kerumunan massa.Â
Malam hari, selepas aksi. Di kamar gelap tempatku bersemedi, kucoba rapalkan mantra. Mantra soal hal baik yang ditemui setelah aksi massa besar, soal nafas yang diharap masih panjang, soal kemesraan yang abadi.
Sepekan tulisan ini saya mulai, banyak kejadian terjadi, banyak hal baik yang tidak tercatat (mungkin saya persembahkan di lain hari), banyak doa yang mulai terkabul.
Saya ingin mengukur, seberapa berhasil cinta itu menjaminkan perubahan. Bukan perubahan dua manusia, tapi perubahan sosial yang membawa hal hal baik. Untuk petani, untuk mahasiswa, untuk buruh, dan sebagainya, terkhusus untuk sang gadis.
Di waktu mendatang, saya ingin mengirim surat buat bapak. Saya ingin memberitahu, bahwa kisah yang dikisahkan sudah kualami. Saya mulai mengenal sosok kancil, sosok petani, bahkan pencuri. Saya harap, dengan ini semua. Bapak bisa berbangga sudah menceritakan kisah kisah aneh itu.