Bapak pernah bercerita soal Kancil yang mencuri timun milik Petani. Dialognya cukup menarik, Kancil menganggap Petani terlalu rakus menguasai tanah, Petani tidak pernah bertanya kepada Kancil "apakah Petani bisa menanam disana" atau "siapa yang hidup disana". Kancil bahkan menganggap Petani yang mencuri dari kancil.
Semenjak itu, saya berpikir menolak menjadi Petani. Lambat laun, di dunia nyata saya sadar. Petani juga korban, Petani adalah korban pencurian dari negara. Saya tidak jadi menyalahkan Petani. Saya membenci negara. Saya sempat berpikir menjadi anarkis dan sepenuhnya menolak hirarkis dan struktur.
Saya gagal jadi anarkis, anarkis terlalu radikal untuk lingkungan saya. Saya hidup di lingkungan masyarakat spiritual, yang berbasis Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Mereka terlalu struktural. Tapi saya tetap sedikit melekatkan ideologi itu dengan tidak percaya pada superioritas.
Kemarin, saya menjadi sedikit superior. Manusia manusia demonstran menjadikan saya pemimpin aksi.
"Talekang" sifat yang terpikir di kepala saya. Di waktu demonstran, saya mengenakan topi, jaket, baju warna putih, membakar rokok, membawa toak, berjalan di depan ratusan demonstran.
"Persetan dengan polisi" teriakku dalam hati.
"Gagah sekali" pikirku
Dari semua itu, satu yang membuatku terkesan. Pagi hari menjelang siang, seorang gadis membawakanku baju berwarna putih. Dengan senyum, ia mengkhawatirkan ku tertangkap jikalau mengenakan baju hitam. Malam sebelumnya, memang kami mengagitasi kelompok berbaju hitam yang selalu menjadi sasaran kekerasan kepolisian.
Makassar membara hari itu, demonstan berjalan menguasai seisi Jl. Pettarani. Jalanan yang menjadi pusat mobilisasi di Makassar, bahkan se-daerah Sulawesi Selatan. Lautan manusia membanjiri jalanan, hingga tiba di Fly Over. Manusia berkumpul, dari petani, mahasiswa, buruh, dan lain sebagainya. Menuntut negara yang penuh korup dan manusia rakus.