Malam di Pattalsasang Gowa  benar benar berbahaya bagi pengguna motor. Jalanan gelap sekitaran persawahan ditambah jalan berlubang adalah penyebabnya, belum lagi hujan yang mulai mengguyur. Sialnya lagi, motorku mogok kehabisan bensin. Ah... betul betul cilaka.
Untungnya saja Tuhan masih menyebar orang orang baik di penjuru bumi. Seorang pengendara mobil pick up datang menghampiri menawarkan bantuan. Ia lekas menuju ke POM Bensin terdekat( yang tentunya tidak dekat dekat amat) membeli bensin dengan botol yang ia pungut di jalanan gelap sialan itu.
Orang itu benar benar senang berderma. Selain memberikanku bantuan ia juga memberikan banyak kisahnya padaku malam itu. Orang tersebut sekira berusia 30 tahunan, ia sering berkendara keluar daerah. Malam itu ia sangat antusias berkisah tentang masalah solar yang menjadi bahan bakar mobil pick up nya.
Pertemuan itu berjalan singkat. Malam yang larut bahkan tidak memberiku kesempatan mengetahui namanya. Tapi antusiasnya membuatku penasaran. Kami berdua memang mempunyai masalah yang sama dengan bahan bakar, hal yang menjadi tanggung jawab PT Pertamina.
Esoknya kucoba telusuri mengenai penimbunan solar di Sulawesi Selatan bersama dengan beberapa kawan. Kami menemukan data, ada 7 Kabupaten yang terindikasi menjadi tempat penimbunan solar yaitu ; Jeneponto, Sinjai, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba. Masing masing menimbun 1 ton bahkan ada yang mencapai 30 ton. Hal ini sangat merugikan masyarakat kelas menengah dan menengah ke bawah.
Masalahnya, jika penimbunan terus dilakukan maka mobilisasi perekonimian menjadi terhambat. Komoditi yang diangkut dari pedesaan menuju perkotaan tidak berjalan dengan baik. Pelaku penimbun biasanya menyalurkan solar timbunannya ke perusahaan perusahaan besar yang bergerak di wilayah Sulawesi Selatan.
Keterlibatan perusahaan perusahaan besar tersebut memunculkan dugaan ada keterlibatan Polda Sulawesi Selatan dalam penimbunan solar tersebut. Harga solar yang berbanding jauh, untuk solar nonsubsidi, yakni Pertamina Dex dan Dexlite masing masing seharga Rp. 18.550 dan 18.100, sementara solar subsidi dijual dengan harga Rp. 6.800 artinya perbedaan harga mencapai lebih dari Rp. 10.000.
Penimbunan solar merupakan tindakan merugikan negara. Solar sebagai sumber daya terbatas seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Sebagiamana yang diatur dalam pasal UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi "Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat"
Oknum oknum penimbun seperti itu ibarat begal yang cepat kaya dari kesengsaraan orang lain. Semoga kedepannya kejadian seperti diatas dapat ditekan kejadiannya, suapaya apa yang dikeluhkan bapak pengendara pick up dan kejadian mogoknya motor tidak terulang lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H