Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menolak Lemah di Antara Lembah

18 Agustus 2022   22:05 Diperbarui: 19 Agustus 2022   13:11 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Jatuh cinta pada keadaan tertentu memang adalah hal bodoh yang pernah dilakukan semua ummat manusia. Memang pada dasarnya jatuh cinta adalah hal bodoh. Kita mungkin akan mengutuk kisah Romeo dan Juliet yang satu sama lain lebih memilih meminum racun, dibanding harus berpisah karena cintanya terhalang oleh permusuhan keluarga. Kita juga mungkin akan mencela Qais dan Layla yang lebih senang dipanggil Majnun akibat semasa hidupnya, konstruk masyaarakat di Jazirah Arab tidak mengizinkan cinta mereka. Atau pada keadaan Muhammad dan Khadijah yang menjadi bodoh satu sama lain menunggu di balik pintu, satu tidak ingin membangunkan yang lain, dan yang lain tidak ingin membukakan pintu jika bukan yang diharapkan datang. Dan mengharap jatuh cinta pada keadaan tertentu, lebih rumit lagi. Ketika keadaan itu bahkan tidak dapat menentukan kapan ia datang.

Namun kebodohan cinta sudah seperti candu. Sekali dicoba sulit untuk berhenti. Tidak apa, lagipula cinta adalah produk candu yang tidak diharamkan negara dan agama.

Sebut saja namanya Elang, seorang kawanku pecinta sepi. Izinkan saya memanggilnya bodoh. Ia seorang pecinta, ia pecinta keadaan tertentu, saat sepi. Saya mengartikan bodoh sebagai keadaan tidak menyesuaikan logika dan tindakan. Hari itu ia dengan hati yang mantap menolak logika. Bayangkan saja, ketika urusannya di kampus begitu sibuk. Ia tetiba menghubungiku, memintaku menemaninya mencari. Ah, sialan juga kau sepi. Kau begitu langka di perkotaan, bahkan hampir punah. Bajingannn...

Bagaimana denganku? Yah, aku juga sepaakt untuk menjadi orang bodoh kala itu. Saat kawan kawan yang lain sibuk dengan tugas penyelesaian khas mahasiswa akhir di seluruh penjuru kampus di Indonesia, aku mmeilih pergi menepi bersama Elang pada saat itu.

Pun pilihan itu kulakukan karena kekecawaanku pada kampus. Dari awal aku menganggap kampus sebagai pabrik pengetahuan, dimana pengetahuan pengetahuan baru diproduksi dan dikembangkan. Skripsi, jurnal, dan berbagai produk implementasi dari pengetahuan dihasilkan secara bermutu disana. Sayangya, sampai saat mendekati masa akhir sebagai mahasiswa. Karya karya pengetahuan yang kuhasilkan secara individu maupun berkelompok disana diacuhkan dan dicampakkan. Terkadang ia hanya bertengger mesra di rak buku, bahkan paling parah kudapati di tempat sampah. Yah, mungkin salahku juga, mempercayakan itu semua kesana, dan tidak mempromosikannya.

Tepat 3 pekan saat jadwal pendaftaran ujian akhir ditutup orang orang mencariku, Ibu di Desa sibuk menelpon ke teman teman menanyakan kabarku, Ibu Dosen mulai penasaran aku dimana, para sahabat mulai khawatir dengan proses perkuliahanku, sang kekasih bahkan sempat berhenti dari padatnya kesibukan hanya untuk mencariku. Mungkin di masa perkuliahan hal ini yang membuatku merasa bahagia, menemukan orang orang yang masih peduli satu sama lain.

Hari itu kami mencoba menjelajahi Lompobattang, Gunung yang dapat ditempuh lewat Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa tersebut menjadi saksi bisu betapa bodohnya kami memilih menepi di tengah riuhnya perkotaan.

Kami bertiga aku, Elang,  dan Febri. Yah, sebut saja Febri. Seorang kawan yang jauh jauh hari kujanjikan pergi mendaki gunung. Sehari sebelum pendakian ia satu satunya orang yang kuinfokan untuk pergi. Sekira pukul 10 malam kami berangkat dari rumah menuju Tompobulu, daerah yang satupun dari kami belum pernah injak.

Alhasil, mengandalkan peta elektronik kami tiba pukul 1 malam di Basecamp, terlambat 1 jam dari perkiraan. Cilakanya merencanakan pemberangkatan di malam hari, kami selalu dihantui rasa tidak enak bertamu tengah malam, takut mengganggu nyenyaknya tidur penghuni rumah pada saat itu. Basecamp Lompobattang sekaligus tempat registrasi pendakian dilokasikan di Kediaman Tata Hasan, juru kunci Gunung Lompobattang.

Mungkin naluri sebagai juru kunci dan penampung para pendaki, tanpa kami bangunkan Tata Hasan mengintip dari jendela rumah panggung miliknya. Ia menyadari keberadaan kami. Setelah sedikit basabasi dan menghidangkan air hangat Tata Hasan menyuruh kami untuk beristirahat, ia tau betul betapa lelahnya untuk sampai ke titik basecamp tersebut. Jalan berbatu, mesin motor kepanasan, gelapnya malam, dan ketidaktahuan kami akan trek yang akan dilalui menjadi sebab lelahnya malam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun