Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tempat Tua untuk Jadi Tua

16 Oktober 2021   03:50 Diperbarui: 16 Oktober 2021   03:57 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Data pribadi penulis (Masjid Nurul Ittihad, Pekkae, Barru)

Seperti perjalanan perjalanan panjang yang lain.
Semua tampak membosankan dan biasa saja.
Sampai kami tiba di suatu surau di Barru.
Menarik melihat kedai kopi dapat bergerak bebas kemana saja berkendara di atas mobil Panther, yang kira kira umur mobil tersebut lebih tua dibanding penghuni baru di kost belakang kampus.
Kopi yang disajikan pun diracik sedemikian rupa lengkap dengan berbagai peralatan ala barista di kafe. Harga peralatan sampai bahannya pun berkisar lebih daripada mobil antik andalannya itu.
Dengan senang hati Bapak itu yang karena keasyikan berkisah sampai lupa kutanyakan namanya, semoga masih ada umur kami bisa bertemu beliau.
Menceritakan kopi terbaik dari tanah Sulawesi.
Hingga pada akhirnya memberi kami nasihat hidup.
Memberitahu resep kaya dengan menjadikan perputaran ekonomi sebagai suatu bentuk ibadah yang disenangi.
"Kenapa menggunakan kopi asli yang digiling, bukan sachetan saja yang lebih praktis dan harga modal awalnya pun lebih rendah?" Tanyaku?
Memang kalu dikisar pendapatan bapak tersebut bisa saja sangat tinggi jika menggunakan kopi sachet. Para pelancong di area rest area cenderung bersifat konsumtif dan materialistis. Jadi, kalau dipikir, sebenarnya bapak tersebut bebas memasang harga.

"Saya jualan di sekitaran area masjid nak, saya datang untuk ibadah. Dengan menyajikan kopi disini saya harap bisa menyelamatkan orang orang yang lewat dari kecelakaan" Jawabnya sambil tersenyum bangga

Sederhana sekali jawabannya sambil tersenyum bangga lagi, tapi apalah... apakah??? Pokoknya itulah, doktrinal sekali.
Setidaknya ekspresi senyumnya itu memberi berita bahwa memang yang disampaikan adalah kebenaran.

Jadi, perjalanan selanjutnya apa yang akan kita dapat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun