Mohon tunggu...
Ian Wong
Ian Wong Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Peneliti

Ian Wong, orang Indonesia biasa, mengharapkan kemajuan bangsanya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Skandal Natal, Ucapan Selamat dan Ketakutan Agama

24 Desember 2014   05:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:35 1539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14194369121020153484

[caption id="attachment_385800" align="aligncenter" width="540" caption="Merry Christmas and Happy New Year 2015"][/caption]

(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat [195] (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih 'Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia. (Sura Ali Imran : 45 & 47)

Kehamilan dan kelahiran anak di luar nikah selalu menjadi skandal dalam budaya Timur. Dan skandal ini rupanya berkembang menjadi sebuah dilema yang lain dalam konteks Indonesia. Jemaah Ansharus Syari'ah (JAS) menyebarkan pamflet anti-Natal di Mojokerto dengan mengacu pada fatwa MUI tahun 1981 yang melarang penggunaan aksesoris Natal dan ucapan selamat Natal. FPI pun tak mau ketinggalan melarang Jokowi yang dianggap murtad jika mengucapkan selamat Natal. Suatu skandal ribuan tahun yang lalu ternyata terus membayangi kehidupan agama di Indonesia.

Umat Muslim di Indonesia sering hidup dibayangi dengan ketakutan. Segala bentuk interaksi dan relasi dengan sesama teman sebangsa dapat menjelma menjadi isu Kristenisasi. Mungkin ketakutan semacam ini dapat dipahami karena muncul dari  konteks sejarah Indonesia. Umat Muslim memang sering merasa dipojokkan, baik oleh penjajah maupun oleh rejim pemerintah sendiri. Dan jika ketakutan sudah memuncak, intoleransi dan bahkan kekerasan jadi tampak masuk akal.

Namun masih banyak pemimpin Islam Indonesia yang dengan bijak dan tajam melihat bahwa hidup keagamaan tak dapat dilandasi dengan ketakutan. Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf menegaskan bahwa ucapan selamat Natal dan atribut Natal tidak berhubungan dengan aqidah dan ibadah seseorang, sehingga tidaklah haram. Direktur Wahid Institute Yenny Wahid pun mengatakan bahwa adalah wajar untuk Jokowi menghadiri perayaan hari raya agama yang resmi diakui negara sebagai bentuk pengayoman pemimpin kepada rakyatnya. Tokoh Muhammadiyah Buya Syafii Maarif juga mengaku dirinya mengucapkan selamat Natal tiap tahun sebagai wujud kerukunan beragama. Buya Syafii mengatakan bahwa mengucapkan selamat Natal tidak berarti seseorang otomatis memiliki teologi yang sama. Jokowi dan para pemimpin Islam ini tampaknya berhasil keluar dari belenggu ketakutan dalam menyikapi relasi kehidupan agama yang plural.

Kontroversi kisah Natal bahkan mungkin menghasilkan kesulitan tersendiri untuk dihayati oleh umat Kristen. Natal bukanlah sekedar acara makan bersama atau bertukar kado. Umat Kristen kadang lupa bahwa kelahiran Jesus the Messiah (Isa Al-Masih) dari awal adalah peristiwa berdarah. Betapa anehnya bahwa kehadiran bayi yang tak berdaya dirasa begitu mengancam sehingga Raja Herodes mengirimkan algojonya untuk menghabisi semua bayi yang ditemukan di Betlehem. Ketika Tuhan bersabda "Kun Fayakun" ("Be and it is"), manusia ternyata hanya mampu melihat itu sebagai suatu skandal yang pantas ditumpas dengan kekerasan.

Bukan hanya Umat Muslim yang hidup dalam ketakutan di Indonesia, banyak sahabatnya yang Kristen juga demikian. Skandal Natal yang terjadi setiap tahun selalu membangkitkan ingatan betapa mudahnya minoritas Kristen menjadi kambing hitam jika diperlukan. Akibatnya Umat Kristen juga terbiasa hidup dalam semangat "fight or flight" (bertikai atau lari). Dan ketika sahabat Muslimnya mengucapkan selamat Natal, kadang umat Kristen tak mampu lagi bereaksi normal dan mengucapkan terimakasih yang hangat. Dan saya berharap, umat Kristen pun dapat pelan-pelan belajar keluar dari belenggu ketakutan dan merangkul sahabat Muslimnya yang belum mampu mengucapkan selamat Natal. Karena hanya dengan begitu Umat Kristen betul-betul menghayati arti Natal ketika Tuhan memilih menunjukkan kasihNya dalam diri Yesus kepada dunia.

Selamat Natal 2014!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun