Platform dan layanan blog baru bermunculan di seluruh tempat untuk menyederhanakan proses penulisan dan penerbitan di web, seolah-olah itu belum cukup sederhana.
Salah satu layanan ini disebut Medium, yang menggambarkan dirinya sendiri sebagai "tempat yang lebih baik untuk membaca dan menulis hal-hal yang penting." Desainnya minimalis, tipografinya bagus, dan yang paling penting, kontennya berkualitas tinggi.
Tapi seperti apa sebenarnya menulis untuk Medium? Artikel penuh wawasan yang saya baca baru-baru ini adalah Why I Left Medium oleh Kenneth Reitz.
Reitz mengutip alasan berikut untuk mengalihkan blognya ke Medium.
- Tipografi yang bagus
- Mendorong kolaborasi
- Memaksa foto untuk setiap posting
- Desain responsif
Yap, itu memang memiliki tipografi yang bagus. Lihat saja sebuah postingan di Medium. Sangat mudah dibaca, di perangkat apa pun (di sinilah bagian desain responsif masuk).
Saya tidak yakin mengapa memaksa foto di setiap postingan akan dianggap sesuatu yang positif. Kedengarannya lebih seperti beban untuk melacak foto yang relevan, ramah-hak cipta untuk dilampirkan ke setiap postingan blog.
Kerugiannya
Reitz akhirnya meninggalkan Medium karena beberapa keterbatasan Medium.
- Tidak ada data analitik atau rujukan
- Tidak ada domain khusus
- Tidak ada URL kiriman khusus atau "Slugs"
Yang dapat Anda lakukan adalah terus menulis, dan buat artikel Anda di-host di Medium.com. Dan ulangi. Dan itu dia