Mohon tunggu...
Ilda Karwayu
Ilda Karwayu Mohon Tunggu... -

freelancer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Memetik Sesuatu dari 'Nyepi'

23 Maret 2012   06:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:35 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, para tetangga bagian selatan rumah saya sangat ramai dan sibuk. Ada yang membawa bambu berhiaskan hiasan dari janur yang saya tidak tahu apa namanya, ada juga yang beramai-ramai mempersiapkan ogoh-ogoh untuk dipawaikan nanti siang. Ya, besok teman-teman Hindu akan merayakan Hari Raya Nyepi, yang sebelumnya diawali dengan acara pawai ogoh-ogoh keliling kota. Biasanya untuk Mataram, pawai diadakan di sekitaran jalan Pejanggik sampai daerah Cakra.

Saya bertetangga dengan umat beragama lain sejak lahir. Saat kami merayakan hari besar masing-masing, malamnya kami pasti saling mengunjungi, atau bahasa akrabnya sering disebut dengan halal-bi-halal. Hidup di tenga-tengah toleransi yang tinggi antar umat beragama membuat saya tumbuh dengan rasa syukur yang tinggi sebagai manusia. Daerah yang pernah saya tinggali, dari Bali hingga Lombok, tidak banyak perbedaan budaya agamanya. Apalagi kedua pulau ini memiliki budaya agama yang sama.

Dulu, saat masih tinggal di Bali, saya selalu menonton pawai ogoh-ogoh dengan rombongan teman asrama TNI beramai-ramai, lalu memberi semangat teman-teman Hindu kami yang sedang pawai ogoh-ogoh. Sore menjelang, para pecalang mulai berjaga, dan mulailah para orang tua menyuruh kami untuk tetap di rumah selama satu hari satu malam. Mereka menjelaskan bahwa teman-teman kami yang beragama Hindu sedang melaksanakan Nyepi, yang berarti diam dan tidak melakukan aktivitas yang berhubungan dengan duniawi. Listrik dipadamkan, yang ada hanya kesunyian dan ketenangan. Sesekali hanya terdengar suara adzan untuk sholat lima waktu.

Setelah pindah ke Lombok, saya mulai lebih mengenal keberagaman. Tepatnya hari ini, pawai ogoh-ogoh yang saya saksikan dari dalam gedung Bank Mandiri Cakra sangatlah meriah. Terlihat kekompakan remaja-remaja Hindu yang semangat memikul ogoh-ogoh kelompok mereka, bersiap untuk mengikuti pawai. Salah satu sahabat saya pernah menjelaskan tentang Hari Raya Nyepi ini, dia menjelaskan tentang bagaimana persiapan sebelum Nyepi. Ia menjelaskan mulai dari proses Melasti, Tawur (Pecaruan), Pengerupukkan, dan yang terakhir Nyepi itu sendiri.

Melasti/Mekiyis/Melis dilaksanakan dua atau tiga hari sebelum Nyepi. Pada hari Melasti ini segala sarana persembahyangan yang ada di pura diarak ke pantai atau danau, karena laut dan danau dipercaya sebagai sumber air suci/tirtha amerta dan bisa menyucikan segala kotor didalam diri manusia dan alam. Disanalah mereka melaksanakan sembahyang dan membersihkan segala sarana sembahyangan yang mereka dapat dari alam agar diberikan kebersihan untuk pernyucian diri dan alam.

Tawur adalah penyucian butha kala (unsur jelek/negatif) di alam dan diri umat Hindu agar segala kotoran dan sifat-sifat buruk bisa sirna. Ditandai dengan membanten caru (sesajen) diberikan kepada butha kala/unsur negatif di alam agar tidak mengganggu kehidupan mereka kedepan. Agar tejadi hubungan yang selaras antara alam dengan manusia, banten caru itu merupakan wujud rasa terima kasih yang mereka berikan kepada lingkungan tempat tinggal atas apa yang pernah diberikan alam kepada mereka.

Pengerupukan, khususnya di Bali dan di Lombok atau daerah yang lain ditandai dengan pawai ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh merupakan perwujudan dari hal-hal atau sifat buruk manusia selama ini di dunia setelah diarak-arak sepanjang desa atau kota, ogoh-ogoh dibakar agar segala sifat buruk itu lenyap oleh api, agar keadaan alam dan jiwa manusia besih kembali untuk melakukan beratha penyepian (puasa Nyepi untuk keesokan harinya).

Yang uniknya, saat pengerupukan umat Hindu wajib mengelilingi pekarangan rumah dengan membawa obor dan pentungan atau barang apa saja yang dapat menimbulkan kegaduhan. Itu bertujuan agar butha kala itu pergi dari rumah, agar rumah dan pekarangan menjadi suci untuk dihuni saat perayaan Hari Raya Nyepi keesokan harinya.

Begitu detilnya sahabat saya menjelaskan tentang hari besarnya, saya pun takjub. Begitu dalamnya filosofi yang ada dalam sebuah perayaan suci. Saya jadi semakin bersyukur dan berfikir, bahwa agama apa pun yang diimani setiap orang itu memang bertujuan satu : mengajarkan kebaikan kepada umatnya.

Agama Tak Berasalah

Bergaul dengan siapa saja dan dari latar belakang yang beragam membuat saya merenung. Banyak kejadian anarkis yang pernah terjadi di tanah air disebabkan oleh agama. Bentrok antar desa, antar kelompok, antar masyarakat, semua atas nama agama. Tidakkah kita pernah berfikir, apakah agama pernah mengajarkan untuk rusuh? Saya pernah membaca salah satu artikel di internet yang menjelaskan kerusuhan agama ini dengan filosofi konser musik. Di suatu konser musik telah terjadi tindak anarkis, padahal sebelumnya para petugas keamanan dan panitia acara telah memberi himbauan agar tertib dan memberi peringatan penting agar konser berjalan lancar. Namun salah seorang dari penonton iseng memulai kericuhan dengan melempar batu dan benda keras kecil lainnya kearah penonton lain. Sontak suasana menjadi tak terkendali. Acara konser pun ricuh dan gagal untuk meriah. Orang-orang yang tidak menonton konser jadi memiliki pemikiran bahwa menonton konser musik tidak ada gunanya. Konser membawa keonaran. Jika diteliti, mana yang salah, konser musik atau para penonton konser?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun