Tidak terasa sudah hampir mendekati 100 hari menjelang berlangsungnya Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Setelah berlangsungnya Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung MPR/DPR/DPR RI, kabinet baru yaitu Kabinet Merah Putih mulai terlihat begitu sibuk menjalankan pemerintahan baru dengan segala adaptasi dari pemerintahan sebelumnya.
Hal tersebut juga terlihat dari Menteri Kabinet Merah Putih yang satu per satu 'keluar masuk' Gedung Parlemen Senayan Jakarta, mulai dari negosiasi kenaikan anggaran pada Rapat Kerja Rencana Anggaran (RKA) Kementerian/Lembaga Tahun 2025, rapat dan konsultasi atas program-program unggulan yang akan direalisasikan oleh pemerintah, hingga membangun komunikasi yang lebih konstruktif antara pemerintah dan parlemen.
Memang sedikit berbeda di era Pemerintahan Joko Widodo yang hanya terdiri atas 4 Menteri Koordinator dan 30 Menteri Bidang, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kabinetnya yaitu Kabinet Merah Putih terdiri atas 48 Menteri (7 Menteri Koordinator dan 41 Menteri teknis), 5 kepala badan, serta 56 Wakil Menteri. Jumlah ini belum termasuk Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Kepresidenan, dan lembaga negara lainnya yang menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Konsekuensi dari bertambahnya jumlah kabinet tidak dilepas dari semakin besarnya beban negara. Bahkan, fenomena menteri berbondong-bondong bernegosiasi anggaran di Badan Anggaran DPR RI juga sempat menjadi sorotan publik. Mulai dari 7 Kementerian Koordinator Kabinet Merah Putih yang meminta kenaikan anggaran.
Jumlah ini belum termasuk kementerian teknis lainnya yang bernegosiasi meminta tambahan anggaran dengan jumlah besar seperti Kementerian HAM yang ingin menambah anggaran menjadi 20 Triliun dari sebelumnya 64 Miliar, Kementerian PU yang meminta tambahan 60,6 Triliun, belum termasuk kementerian teknis lainnya yang mengajukan anggaran begitu fantastis.
Fenomena Menteri rebutan anggaran di tengah gelagapannya APBN akhirnya menjadi pertanyaan serius, Apakah masing-masing kementerian sudah melibatkan Bappenas sebagai perencana pembangunan nasional? Apakah anggaran yang diajukan adalah benar-benar untuk kebutuhan rakyat? atau apakah kenaikan ini karena beratnya membiayai program - program yang harus diberikan secara 'cuma-cuma' pada rakyat?
Pemerintah saat ini sedang berupaya keras untuk menyiapkan anggaran merealisasikan program-program unggulan Presiden Prabowo Subianto, mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG), membangun 3 juta rumah gratis, pemeriksaan kesehatan gratis, hingga program-program prioritas lainnya. Di balik kata 'gratis' dalam program-program yang ingin direalisasikan memang mengakibatkan semakin besarnya beban anggaran negara.
Contohnya, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berlangsung dilaksanakan sejak Januari 2025 kemarin. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan alias Zulhas mengatakan program MBG membutuhkan tambahan anggaran sebesar Rp 140 triliun agar tetap berjalan hingga akhir tahun. Artinya, sepanjang 2025, program unggulan Presiden Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, itu memerlukan anggaran Rp 210 triliun.
Belum lagi, persoalan yang ditemukan di lapangan adalah bahwa pelaksanaan Makan Bergizi Gratis yang masih menggunakan uang pribadi Presiden Prabowo Subianto. Berbicara tata kelola sebagai pelaksanaan suatu program negara yang bersumber dari keuangan negara haruslah mengedepankan good governance. Artinya, seharusnya program atas nama pemerintah haruslah dibiayai melalui anggaran yang dianggarkan pemerintah juga, bukan menggunakan anggaran pribadi perseorangan.
Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi atas pelaksanaan Makan Bergizi Gratis yang sedang berlangsung saat ini. Apakah program ini bisa konsisten hingga lima tahun ke depan mengingat besarnya anggaran yang harus disediakan setiap tahunnya untuk membiayai 82,9 juta jiwa selama lima tahun ke depan.