Mohon tunggu...
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian Mohon Tunggu... Lainnya - Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, Peneliti, Tim Ahli

Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem,Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif. Saya merupakan Awardee Beasiswa Unggulan Puslapdik Kemendiknbud RI.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Digitalisasi Pemerintahan: Omon-Omon di Ruangan Rapat atau Sampai ke Publik?

15 Januari 2025   21:32 Diperbarui: 15 Januari 2025   21:32 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelaksanaan SPBE. Sumber: https://siapspbe.id/apa-itu-spbe/, diakses pada 15 Januari 2025.

Digitalisasi memainkan peran penting dalam mewujudkan prinsip-prinsip good governance, terutama dalam konteks pelayanan publik. Dengan penerapan kecanggihan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), proses administrasi pemerintahan menjadi lebih transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. 

Digitalisasi memungkinkan akses informasi yang lebih mudah bagi publik, mengurangi birokrasi yang rumit, serta mempercepat penyampaian layanan publik. Bahkan, digitalisasi mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya, dan memperkuat mekanisme pengawasan terhadap kinerja aparatur negara. Digitalisasi tidak hanya meningkatkan kualitas pelayanan publik, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang berintegritas dan berorientasi pada kepentingan umum.

Perkembangan signifikan terjadi pada tahun 2018, ketika pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (Perpres SPBE), yang kemudian dikembangkan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 2022 tentang Arsitektur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Nasional (Perpres Arsitektur SPBE) dan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional (Perpres Transformasi Digital).

Amanat Perpres tersebut tidak hanya memerintahkan pemerintah pusat di level kementerian/lembaga menerapkan SPBE, termasuk juga terhadap pemerintah daerah di Indonesia yang terdiri atas 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Hampir semua pemerintah daerah menerbitkan regulasi sebagai turunan dari Perpres SPBE. Namun, membludaknya regulasi di level daerah menjadi persoalan di tataran implementasi, bedanya persepsi transformasi digital antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga menjadi penghambat keberhasilan transformasi digital. 

Banyak regulasi di tingkat daerah yang belum sesuai dengan kebijakan pusat, menyebabkan variasi dalam implementasi kebijakan. Selain itu, kebijakan arsitektur dan peta jalan untuk integrasi sistem layanan digital berbasis data belum jelas, serta infrastruktur digital yang belum merata, menciptakan kesenjangan digital yang signifikan. 

Proses transformasi digital di sektor pemerintahan mendorong pengembangan berbagai aplikasi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Aplikasi-aplikasi ini mencakup berbagai aspek pelayanan publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, kependudukan, perpajakan, perizinan, dan pelayanan lainnya. Mulai dari level kementerian, lembaga, pemerintah daerah provinsi hingga kabupaten/kota berbondong-bondong mengembangkan aplikasi.  

Ironisnya, bukan semakin memudahkan publik, justru terjadi persoalan serius yang sebenarnya semakin memperlambat proses pelayanan publik. Begitu banyaknya aplikasi yang diinisiasi oleh pemerintah tidak diikuti dengan pemahaman masyarakat dalam menggunakan aplikasi yang dikembangkan. Belum lagi, persoalan infrastruktur digital, tingkat pemahaman masyarakat yang berbeda-beda justru semakin memperlihatkan kesenjangan digital.

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2023, hingga saat ini terdapat kurang lebih 27 ribu aplikasi milik pemerintah pusat dan daerah yang tidak efektif karena tidak adanya integrasi maupun sinkronisasi antar aplikasi tersebut, sehingga prinsip interoperabilitas dan kolaborasi masih sering terlewatkan. Seandainya dilakukan efisiensi aplikasi, begitu banyak anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan pada kebutuhan lainnya.

Tentu menjadi pertanyaan serius, sebenarnya aplikasi ini digagas apakah sekadar sebagai serapan anggaran saja? Sekadar belanja-belanja birokrasi saja? Kalau pemerintah tidak sedang bercanda menggagas transformasi digital, seharusnya tidak hanya memikirkan kuantitas saja, namun juga berdasarkan kualitas aplikasi.

Di level pemerintah daerah, aplikasi bahkan dijadikan seremonialiasi program pemerintah, seperti sistem pelayanan program penanggulangan kemiskinan dan jaminan kesehatan warga kurang mampu di Kabupaten Cirebon (SiPEPEK), Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan (Sisemok), Aplikasi memantau stok dan kebutuhan pangan pokok (Simontok), dan lain sebagainya. Artinya, hanya sekadar ingin menunjukkan popularitas nama aplikasi daripada kualitas kegunaan aplikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun