"Serapan anggaran menjadi acuan dalam pengukuran kinerja organisasi sehingga semua pegawai bekerja dengan baik karena pimpinan menandatangani target kinerja. Serapan anggaran yang 100 persen adalah kunci dalam pertumbuhan ekonomi. Jika anggarannya kurang dari 100 persen, maka anggarannya akan 'disunat' atau istilah balik ke kas negara."
Kalimat ini datang dari seorang pengguna media sosial X yang memberikan tanggapan tentang fenomena mengapa banyak instansi-instansi pemerintahan yang sering mengadakan rapat-rapat di hotel berbintang, bimbingan teknis (bimtek) di luar kota, perjalanan dinas dalam/luar negeri yang rutin, hingga tragedi perbaikan infrastruktur yang 'tiba-tiba' terjadi.
Menjelang akhir tahun, tidak sedikit pejabat pemerintahan mulai dari level daerah hingga kementerian/lembaga negara memberikan instruksi agar segera melakukan penyerapan anggaran sampai 100 persen. Memang idealnya, penyerapan anggaran melalui APBN/APBD akan memberikan domino effect bagi pertumbuhan ekonomi.
Misal sebagai contoh, jika pemerintah menargetkan perbaikan jalan, melalui belanja modal pembangunan infrastruktur akan menyerap tenaga kerja, penghasilan diperoleh oleh tenaga kerja akan dibelanjakan kembali untuk kehidupan sehari-hari masuk ke tangan UMKM, dari UMKM masuk ke tangan UMKM lainnya, berputar terus yang akhirnya menstimulus pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya pertumbuhan ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa melalui belanja pemerintah juga mempengaruhi pembangunan masyarakat.
Penyerapan anggaran seperti kondisi atas tentu harus berdasarkan perencanaan yang matang sehingga bisa memberikan domino effect, tidak 'ugal-ugalan', 'tiba-tiba', 'dadakan', 'yang penting terserap', 'yang penting habis', atau istilah lainnya yang memandang penyerapan anggaran secara kuantitatif.
Baru-baru ramai disoroti di media terkait Dinas Sosial dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang memberangkatkan 133 orang ke Bali dengan anggaran Rp900 juta rupiah pada pertengahan November 2024. Berdasarkan pernyataan dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Bogor, bahwa kegiatan ke Bali tersebut adalah bimbingan teknis dan workshop untuk relawan.
Banyak yang memberikan tanggapan bahwa kasus di atas adalah fenomena penyerapan anggaran yang biasa terjadi dalam birokrasi. Sebenarnya menjadi sebuah polemik, apa makna dari serapan anggaran?
 Kalau kita berkaca dari 'stigma' dan kenyataan birokrasi yang ada saat ini, penyerapan anggaran masih dianggap sebagai anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah secara kuantitatif. Artinya, masih banyak pemikiran yang menganggap bahwa semakin banyak anggaran yang terserap, dijadikan tolak ukur baik atau buruknya kinerja pemerintah.
Terserapnya anggaran yang hanya sebatas kuantitatif, justru memicu tidak efisiennya penggunaan anggaran, kemungkinan penyelewengan, bahkan tujuan untuk memberikan domino effect tidak akan bisa tercapai. Hal tersebut terjadi karena pemerintah membelanjakan secara tidak tepat sasaran, tidak sesuai kebutuhan masyarakat, bahkan hanya habis digunakan oleh pegawai. Artinya, masyarakat tidak benar-benar merasakan dampak dari anggaran tersebut.
Mengadakan rapat di hotel, perjalanan dinas, bimbingan teknis, pengembangan kapasitas (capacity building) tentu tidaklah salah sebagai bagian dari belanja pegawai. Namun, publik menuntut bahwa anggaran tersebut digunakan yang orientasinya adalah untuk kepentingan publik, serta memperbaiki kualitas pelayanan publik.