Mohon tunggu...
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian Mohon Tunggu... Lainnya - Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Antikorupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK, Peneliti, Tim Ahli

Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem,Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif. Saya merupakan Awardee Beasiswa Unggulan Puslapdik Kemendiknbud RI.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Membludaknya Analis Kebijakan

19 November 2024   18:02 Diperbarui: 21 November 2024   13:40 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ASN | syarifahbrit/Freepik

Contohnya, ketika pemerintah pusat membuat kebijakan baru, Kemendagri memiliki peran strategis yang bisa menundukkan seluruh pemerintah daerah untuk taat dan mengikuti instruksi tersebut. Bahkan pemerintah daerah juga dibatasi membentuk peraturan daerah/peraturan kepala daerah yang hanya sekadar mencopy paste peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah pusat.

Beberapa pernyataan ini sebenarnya ingin memberikan penegasan bahwa apakah sebenarnya membludaknya analis kebijakan disertai dengan alasan yang logis?

Tentu, permasalahan ini ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo-Gibran untuk mewujudkan Asta Cita poin ketujuh yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.

Membludaknya jumlah analis kebijakan tidak hanya mengakibatkan birokrasi yang tidak gesit dan lincah, namun berpengaruh kepada meningkatnya belanja negara/daerah baik pembiayaan gaji, tunjangan kinerja, tunjangan jabatan, dan lain sebagainya. Jangan sampai APBN/APBD justru lebih banyak dihabiskan pada belanja aparatur ketimbang belanja yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat.

Di tengah anggaran negara yang saat ini sedang dalam keadaan 'ngos-ngosan' membiayai banyaknya mega proyek, pemerintah harus mulai memikirkan dan menata ulang pengisian jabatan fungsional. Pengisian jabatan fungsional ini harus didasarkan pada kebutuhan nyata suatu instansi. Jangan sampai jumlah analis kebijakannya membludak, padahal jumlah tenaga tenaga teknis lainnya justru kurang.

Ditambah lagi, di tengah transformasi digital layanan publik pemerintahan, tentu membludaknya jumlah analis kebijakan menjadi tidak relevan dengan komitmen Indonesia untuk beralih ke sistem pemerintahan berbasis elektronik atau e-government, yang tujuannya adalah meningkatkan transparansi, efisiensi, dan kualitas pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi digital.

Pada umumnya, analis kebijakan biasanya berasal dari latar belakang ilmu sosial, bahkan tidak terkait langsung dengan E-Government. Sementara, transisi menuju pemerintahan berbasis digital membutuhkan keahlian dengan pengetahuan yang lebih teknis, termasuk tentang sistem teknologi informasi, pengelolaan data besar (big data), kecerdasan buatan, dan pemahaman mendalam tentang teknologi digital.

Bertransformasi menuju pemerintah digital akan menjadi sebatas capaian-capaian prosedural saja tanpa menjalankan inti utama dari transformasi digital tersebut. Akhirnya, konsep transformasi yang terpikirkan dari 'mereka yang salah persepsi' adalah sebatas meluncurkan beragam aplikasi, tanpa adanya  urgensi bagi masyarakat, serta membuat semakin tingginya belanja pemerintah yang dipakai. 

Oleh karena itu, membludaknya analis kebijakan saat ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Stigma 'konvensional' dari membludaknya analis kebijakan yang ada saat ini harus diperbaiki dengan siap beradaptasi dengan kebutuhan transformasi digital pemerintahan.

Di tengah kurangnya kebutuhan tenaga teknis yang membidangi transformasi digital, analis kebijakan diharapkan mampu meningkatkan kompetensi untuk masuk ke jabatan fungsional lain yang mendukung keberhasilan transformasi digital pemerintahan.

Tentu, keberhasilan pemerintah menata pengisian jabatan berdampak kepada efektifnya penyelenggaraan pemerintahan. Harapannya, penataan ini dapat mengukur jabatan fungsional mana yang dibutuhkan. Sehingga tidak lagi ada jabatan fungsional yang membludak, namun ada jabatan fungsional yang kurang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun