Jalan yang Bimbang
Kisah yang sedikit abstrak ini akan diawali dengan lika liku kehidupan pada dunia perkuliahan secara nyata. Dulu waktu aku masih MA memiliki pikiran bahwa jika nantinya akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (kuliah) akan menjadi bebas tak kan ada aturan yang mengekang seperti halnya pada saat MA, ujar aku pada sahabat yang ada disampingku. Kala itu kami berbincang semasa jam pelajaran keagamaan di basecamp untuk membolos yang berada di belakang masjid. Yaa waktu itu aku masih terbilang anak yang menaati peraturan. namun tidak untuk teman-teman dan juga sahabatku mereka seringkali berbuat onar dan melanggar peraturan. Akan tetapi dengan adanya hal seperti itu malah membuat kami menjadi semakin erat layaknya memiliki keluarga baru, jika ada teman yang ada masalah yang lain akan membantu memberikan solusi. Indahnya solidaritas yang tinggi dan aku pun tersenyum melihatnya walaupun solusi yang diberikan sedikit ngawur alias tidak memperhitungkan dampak yang ditimbulkan seperti apa. Singkatnya 3 tahun sudah berjalan dan tak lama lagi pendidikan kami di MA akan selesai. Banyak dari teman-temanku yang tidak melanjutkan pendidikannya dengan alasan sudah capek kalau belajar. Mungkin ada trauma dari guru matematika yang galak waktu itu hehehe bercanda.....
Aku pun menghargai keputusan yang diambil temanku, semoga saat kita sudah berumur nanti kalian tak melupakan kenangan apa saja yang kita lalui semasa MA dan tentunya sukses dengan pilihan masing-masing. Seminggu kemudian waktu wisuda telah tiba dan akhirnya kami lulus. Teman- temanku yang tidak ingin melanjutkan pendidikannya memilih untuk langsung mencari pekerjaan dan sebagian lagi yang melanjutkan pendidikannya fokus dengan tujuan masing-masing. Tak lupa aku juga mencari cari informasi tentang kampus mana yang sae (bagus) dan sesuai dengan minat yang aku miliki. Aku pun mencoba mendaftar dengan transkip nilai yang aslinya pun tidak terlalu bagus juga. Pilihanku jatuh ke kampus yang ada di kota M. Alhamdulillah, aku pun diterima di universitas tersebut. Saat pendaftaran itu aku tak bilang dengan orang rumah, Pinta orang tuaku sebenarnya disuruh melanjtkan di kampus yang dekat dengan rumah agar setiap hari bisa kembali tapi aku tak mau karena kalau dikota sendiri pengalaman yang kudapat akan kurang, suasananya pun akan begitu aja, Pikirku waktu itu.
Nah setelah ada pengumuman akan diterimanya aku dikampus yang memang aku inginkan, aku memberitahukan itu kepada orang rumah (bapak, ibu, kakak) sontak saja mereka kaget karena sebelumnya tidak bilang apa-apa. Sontak saja aku langsung diceramahi dengan kata yang penuh makna dan kebijakan. Intinya sih kenapa milih kampus itu kan biayanya mahal. Aku pun memberitahukan untuk tidak ambil pusing terkait dengan biaya, yang penting dapat doa restu dari bapak ibu saja itu sudah baik. "Soal biaya tak perlu khawatir aku mencoba daftar beasiswa bidikmisi". Penjelasan yang sampaikan pun diterima dan mereka mendukung dengan keputusan yang sudah aku ambil. Waktu perkuliahan pun dimulai pada bulan Agustus 2021 saat masa wabah covid masih melanda, dimana pelaksanaan ospek dilakukan secara daring dari rumah. Hampir 1 hari full setiap hari menatap layar laptop, jenuh tentunya tapi aku jalani dengan rasa santai tak lupa udud surya dan secangkir kopi disediakan. 2 tahun berjalan dan perkuliahan hanya begitu-begitu saja tak ada yang menarik kadang kalau jenuh saat dosen memaparkan materi aku tinggal untuk melepas penat keluar rumah sambil menikmati keindagan Tuhan yang telah disuguhkan. Singkat cerita wabah yang melanda mulai reda dan notifikasi dari hp mengingatkan uji coba perkuliahan secara tatap muka betapa senangnya diriku karena kuliah secara nyata tak lama lagi akan aku jalani. H-1 sebelum keberangkatan aku berpamitan pada kedua orang tuaku tak lupa segala kebutuhan ku nanti sudah disiapkan dengan rapi, aku merasa wah ternyata aku sudah dewasa dan sudah saatnya untuk mencari pengalaman yang lebih luas dengan merantau di kota orang.
Dengan menaiki motor bututku vespa yang kuberi nama mbah Marjuki aku berangkat untuk menimba ilmu, diperjalanan pikiranku yang tak karuan selalu meliputi mulai dari nanti gimana ya disana, apakah bisa bertahan bla bla bla. Aku mencoba untuk melepas semua pikiran negatif tersebut dengan menikmati perjalanan. 1-3 bulan di kota orang aku mulai adaptasi dengan lingkungan yang notabene hampir sama dengan lingkungan dirumah namun kultur budaya yang berbeda membuat 1 semester terasa sangat lama. Aku berjuang dengan semua itu, agar pkiran tetap waras aku melakukan rutinitas yang biasa aku lakukan di rumah. Namun seiring dengan berjalannya waktu terasa apa yang aku jalani terasa hampa, tujuan yang semula sduah tertata dengan rapi seketika hancur entah kemana. Mulai dari percintaan, tekanan akan tugas yang dirasa membebani, pertemanan yang toxic selalu mewarnai dan berkelahinya batin dengan pikiran pada orang yang ada dirumah melebur menjadi satu. Kadang ingin berkeluh kesah (sambat) tapi tak punya tempat. Hancur-sehancurnya, ibarat kita di dunia hanya ada diri seorang. Dalam hal ini aku sebagai penulis tidak bisa menggambarkan bagaimana kondisi yang aku alami saat itu, mungkin tulisan yang aku buat ini salah satu caraku sebagai pelampiasan meredakan semua itu. Sekarang semua sudah berangsur angsur membaik dan aku mencoba untuk mensyukuri perjalanan ku dari awal sampai titik ini moga kiranya apa yang ingin aku sampaikan dalam cerita ini dapat dipahami. Sekian terimakasih. " terkadang sesuatu hal yang abstrak penuh dengan makna yang tersirat, adakalanya perjalanan yang tak beraturan menjadi motivasi untuk menjadi lebih baik kedepannya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H