Siang itu, 2 November 2024, udara di sekitar Festival Literasi Tamasya Buku Salatiga terasa hangat meskipun cuaca kurang bersahabat. Sinar surya menembus celah-celah atap tenda, menyorot butiran debu yang berputar-putar di udara.
Suara obrolan pengunjung dan gesekan kertas halaman buku menciptakan harmoni khas yang terdengar bak alunan berirama. Di tengah keramaian itu, mata saya menangkap sosok yang familiar: Kang Maman.
Kepala plontosnya semakin menonjolkan garis-garis bijaksana di wajahnya. Kacamata uniknya—sisi kiri berbentuk bulat, sementara sisi kanan kotak—membingkai matanya yang teduh.
Meski saya tinggal di Yogyakarta dan Kang Maman sering berkunjung ke kota ini, saya tak pernah benar-benar berbicara dengan beliau sedekat ini, hanya berjarak beberapa sentimeter.
Sosok yang dikenal sebagai NoTulen dalam program TV Indonesia Lawak Klub (ILK) ini telah melahirkan sekitar 60 buku, banyak di antaranya mengangkat kisah perempuan, tema yang begitu melekat pada karya-karyanya.
Ketika ditanya alasannya, beliau dengan sederhana menjawab, “Karena ibu saya.”
Kang Maman kemudian bertanya, “Bagaimana pamerannya, Mahéng? Sukses?” Saya tertawa kecil, lalu menjawab bahwa kalau soal omzet, Kang Maman pasti sudah tahu jawabannya. Namun, jika bicara soal kampanye literasi, saya rasa kami bisa bilang sukses.
Siang berganti malam, dan langit menangis sejadi-jadinya. Hujan deras mengguyur halaman Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana, tempat Festival Literasi Tamasya Buku Salatiga dihelat.
Angin bertiup kencang, menerpa terpal yang menutupi meja-meja buku. Kami berjibaku dengan alam untuk menyelamatkan buku-buku dan perlengkapan acara.
Gelar wicara dengan tema Perempuan dalam Karya Kang Maman harus tetap dilaksanakan. Kami berpindah lokasi tiga kali, dari satu tempat ke ruangan lain, mencari lokasi yang lebih aman dan nyaman.