Di bawah terik matahari yang membakar kulit, saya duduk terpekur di pendopo, ditemani oleh kipas angin yang baling-balingnya sudah malas berputar. Panas 34 derajat Celsius memancar ganas dari langit, menyatu dengan kegundah-gulanaan yang merayap di dalam hati saya.
Di depan saya, barisan bunga Zinnia mekar dengan warna-warni cerah, bertahan teguh di tengah suhu yang menyengat. Keberanian mereka untuk bertahan hidup di cuaca Yogyakarta yang keras ini begitu luar biasa, membuat saya kehabisan kosakata.
Di saat yang sama, pasangan semata wayang saya mengatakan, "Kita sudah tidak sejalan." Ya jelas, dia tinggal di pulau yang berbeda.
Bagaimana bisa sejalan?
Sambil mencoba mendinginkan hati, saya secara tidak sengaja melihat seorang teman mengunggah ulang sebuah berita tentang Pemerintah Australia yang sedang menguji coba metode dan teknologi untuk memverifikasi usia pengguna media sosial.
Perdana Menteri Anthony Albanese, kadang dipanggil Albo, menyebutkan bahwa mereka tengah mempertimbangkan pembuatan syarat usia minimum bagi anak-anak yang mendaftar di Facebook, Instagram, dan TikTok, dengan batas usia antara 14 dan 16 tahun.
Mungkin Albo khawatir "di tanah selatan" akan menghadapi nasib yang sama dengan tanah air kita, di mana 'Standar TikTok' juga akan menjadi standar dalam generasi muda mereka.
Salin pranala konten TikTok, kirim ke pacar, dan berantem. Sudah lumrah!
Aplikasi berbagi video pendek ini berhasil mencuri perhatian jutaan orang di seluruh dunia. Bahkan saya sendiri sempat menggunakannya, meski tidak terlalu sering (dengan tidak mengatakan hampir tidak pernah).
Di sini, kita bisa menemukan segala macam konten, mulai dari video lucu, informasi terkini, hingga 'tutorial hidup' seperti konten “a day in my life.”