Indonesia pernah mencoba sistem utang pendidikan pada tahun 1980-an, namun gagal. Kini, ada rencana untuk mengulangi kegagalan tersebut.
Pendidikan di Indonesia sedang bergelut dengan berbagai masalah: Kampus yang berorientasi pada profit, biaya kuliah yang tinggi (UKT), dan rencana Student Loan yang cacat konstitusional telah mengubah pendidikan menjadi komoditas, bukan lagi alat transformasi sosial.
Akar Masalah Pendidikan di Indonesia
Salah satu akar masalah pendidikan di Indonesia adalah institusi pendidikan yang dijadikan ladang bisnis. Padahal, sejatinya pendidikan melahirkan pebisnis, alih-alih mencetak tenaga kerja murah.
Sistem pendidikan saat ini telah bergeser dari fungsinya sebagai alat transformasi sosial. Kampus tak lebih dari sebuah perusahaan yang hanya memikirkan profit.
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brasil, dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menganggap sistem pendidikan kita saat ini sebagai "metode penjinakan".
Freire menyebutnya sebagai konsep pendidikan "gaya bank", di mana hubungan yang terjalin hanya melibatkan subjek sebagai penceramah (dosen, guru) dan objek yang diceramahi (murid, mahasiswa).
Lebih ironis lagi, "kurikulum" yang menjadi dasar ceramah dosen dan guru ternyata disetting oleh pemilik perusahaan (baca: kampus). Seakan-akan, pengetahuan yang diajarkan kepada mahasiswa hanyalah alat untuk melayani kepentingan pemilik modal.
Saya ingat betul pada masa awal-awal duduk di bangku kuliah, salah satu dosen favorit saya kala itu mengatakan bahwa menjadi mahasiswa harus kritis. Namun, ketika saya melihat mahasiswa yang kritis, seperti mengkritik UKT, mereka malah dibungkam dan diancam dengan berbagai cara.
Saya melihat mahasiswa yang kritis, seperti mengkritik kebijakan kampus, benar-benar dibuat "kritis" dalam artian didoxing, diancam drop out.