Jika untuk membeli gawai terbaru saja kita rela menabung, mengapa untuk mengulak satu buku original saja kita harus linglung?
Pernahkah kamu menemukan buku dengan harga yang sangat murah dan tidak wajar, bahkan hanya Rp1.000 di lokapasar? Jika ya, hati-hati, sebab besar kemungkinan buku tersebut adalah bajakan.
Pembajakan buku merupakan masalah yang sangat serius yang dihadapi industri penerbitan di Indonesia. Hal ini tidak hanya merugikan penerbit, penulis, dan toko buku, tetapi juga berdampak negatif bagi perkembangan literasi bangsa.
Dalam Buku Tamu #4 Edisi Spesial pada Sabtu, 18 Mei 2024 lalu, Komunitas Kolaborasi Buku mengundang Wawan Arif, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) D.I Yogyakarta. Dari diskusi bersama Wawan, terungkap bahwa pembajakan buku di era digital semakin marak.
Para pembajak memanfaatkan stan online seperti lokapasar untuk menjual buku elektronik dan buku versi Portable Document Format (PDF) serta buku fisik dengan harga yang tidak lazim.
Menurut penuturan Wawan, dulu, sebelum era online, buku bajakan mudah ditemui di toko-toko buku. Pertanyaan "Mau yang asli apa yang KW?" sudah menjadi template umum.Â
Para penjual tak segan menawarkan buku bajakan kepada Wawan sendiri sebagai pelaku penerbitan, dan bahkan ada toko yang menawarkan buku bajakan kepada penulisnya sendiri.
Di era digital, pembajakan buku semakin dahsyat. E-book bajakan dengan harga sangat murah bertebaran di situs dan toko buku daring. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan regulasi dan ketidaktegasan hukuman terkait penjualan buku elektronik maupun buku fisik bajakan di lokapasar.
"Ini pasti ilegal. Kami sudah mendata bahwa hingga hari ini belum ada buku elektronik yang dijual secara official oleh para penerbit melalui lokapasar seperti Shopee," kata Wawan.
Wawan menambahkan bahwa saat ini pembelian buku elektronik resmi masih didominasi oleh perpustakaan seperti Perpusnas. Penjualan retail masih minim, meskipun ada beberapa platform yang mulai muncul.
Ancaman yang Semakin Berbahaya Bagi Penerbit IndieÂ