Akibatnya, saya terjebak dalam gaya hidup konsumtif, membeli barang-barang yang tidak esensial hanya demi mengikuti tren dan mendapatkan pengakuan sosial.Â
Zaman sekarang, istilah "racun" marak di media sosial. Istilah ini merujuk pada konten yang menggoda kita untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan.Â
Ditambah lagi, solusi "tidak solutif" seperti paylater semakin mempermudah kita untuk berbelanja tanpa memikirkan kemampuan finansial.Â
Paylater, meskipun menawarkan kemudahan "beli sekarang, bayar nanti", pada hakikatnya adalah utang. Ibarat racun berbisa, paylater dapat membawa malapetaka bagi keuangan kita. Kebiasaan berutang melalui paylater dapat menggerogoti kantong dan menjebak kita dalam siklus utang yang sulit direm.
Pernahkah kamu merasa sudah bekerja keras bagaikan kuda, namun tetap merasa miskin? Coba cek akun lokapasarmu! Berapa banyak paylater yang harus dilunasi?
Parahnya, muncul pula pemikiran bahwa "kalau tidak ngutang, tidak akan pernah memiliki". Anggapan ini keliru dan berbahaya. Mentalitas ini mengabaikan prinsip-prinsip keuangan yang sehat dan mendorong gaya hidup konsumtif yang tidak berkelanjutan.
Silam, saya pun memiliki mentalitas "kalau tidak ngutang, tidak akan pernah memiliki". Namun, setelah kembali ke ranah spiritual dan menemukan pegangan hidup, ciyeee, saya memahami bahwa Tuhan memberikan rezeki, termasuk uang, berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan saya.Â
Pernahkah kamu berutang hanya untuk membeli kaos agar tampil beda di media sosial? Saya pernah. Dan itu adalah contoh bagaimana keinginan dapat menjebak kita dalam siklus utang yang tidak sehat.Â
Pernahkah kamu mendengar tentang orang yang menggunakan paylater untuk berbelanja senilai kurang dari Rp50.000 dan mencicilnya selama 12 bulan?Â
Bagi saya, fenomena ini cukup mengerikan dan membentuk habit "pinjam dulu seratus", membentuk kebiasaan berutang.