"Orang kaya berutang untuk bisnis, kelas menengah berutang untuk gaya hidup, dan orang miskin berutang untuk bayar utang."
Adagium ini sering didengungkan oleh banyak motivator saat memberikan tutorial untuk cara jadi kaya.
Pada kenyataannya memang tak sesederhana itu. Bagi kelas menengah, utang sering kali menjadi jebakan yang sulit dihindari, menghambat mereka mencapai kemapanan finansial. Utang bagaikan pisau bermata dua: di satu sisi membantu, di iringan lain menjerat.
Sekalipun memiliki penghasilan relatif stabil, tak jarang kelas menengah terjebak dalam siklus utang yang sulit diputus. Data Harian Kompas menunjukkan sekitar 126 juta masyarakat Indonesia termasuk kelas menengah, atau kelompok "susah kaya".Â
Pertanyaan pun muncul: sudah kerja keras bagai kuda, mengapa kelas menengah tetap begitu saja, sulit mencapai kemapanan finansial?
Memang, takdir Tuhan menentukan kaya dan miskin. Banyak ahli ekonomi hidup miskin, dan tak sedikit orang berpendidikan rendah yang kaya raya.Â
Namun, di balik takdir, terdapat "sunnatullah" atau hukum kausalitas yang menjelaskan mengapa seseorang susah kaya. Salah satu sunnatullah tersebut adalah kebiasaan berutang.
Terlebih jika kebiasaan berutang itu untuk gaya hidup. Konsumsi berlebihan dan keinginan untuk tampil glamor mendorong mereka terjerat utang. Dalam kasus yang lebih parah, bahkan ada yang terjerumus dalam utang karena judi online.
Dulu, saya termasuk orang yang doyan berutang. Ideologi konsumerisme yang mendewakan uang dan mendorong manusia untuk selalu membeli, menjerumuskan saya dalam siklus utang yang tak berkesudahan.
Seperti kata Haryo Setyo Wibowo dalam bukunya Milenialnomics Mengatur Keuangan dengan Bahagia, uang menjadi berhala yang menuntun manusia untuk selalu bimbang memilih antara kebutuhan dan keinginan.