Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Aksi Unjuk Rasa Ribuan Kepala Desa: Perpanjangan Masa Jabatan Hanya Isu Pengantar?

4 Februari 2024   13:19 Diperbarui: 4 Februari 2024   13:23 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, ribuan kepala desa dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Kepala Desa Se-Indonesia (Apdesi) melakukan aksi menuntut parlemen untuk segera mengesahkan perubahan kedua Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Ada beberapa klausul yang di-highlight, seperti perpanjangan masa jabatan kepala desa dari yang semula 6 tahun menjadi 9 tahun, serta perubahan alokasi dana desa pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Aksi unjuk rasa ribuan kepala desa di depan Gedung DPR menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi dasar tuntutan mereka? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya menghubungi Wahyudi Anggoro Hadi, kepala Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta pada Kamis 1 Februari 2024.

Wahyudi mengungkapkan bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa hanyalah isu pengantar dari banyaknya problem yang dihadapi kepala desa dan perangkat desa.

Wahyudi menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa menurun karena konflik yang terjadi selama masa Pilkades. Konflik ini dapat menyebabkan hubungan antara kepala desa dengan berbagai stakeholder, termasuk masyarakat, menjadi renggang.

Hal ini dapat menghambat kerja sama antara kepala desa dan masyarakat dalam pembangunan desa. 

"Kepala desa hidup dan bekerja di desa tersebut. Lawan politiknya juga merupakan masyarakat desa setempat, dan di sisi lain juga harus melayani masyarakat setempat." 

Oleh karena itu, Kepala desa dan masyarakat desa memiliki hubungan yang kompleks. Selain hubungan politik, mereka juga memiliki hubungan sosial, budaya, dan ekonomi. Upaya rekonsiliasi pasca-pilkades menjadi lebih rumit karena melibatkan berbagai aspek hubungan tersebut.

Perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun menjadi salah satu isu yang menarik perhatian sehingga tidak luput dari dapur media, penting kata Wahyudi, tetapi bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi permasalahan desa. 

"Proses rekonsiliasi tidak semudah itu. Luka lama belum sembuh, sudah harus menghadapi konstestasi baru." lanjut Wahyudi.

Wahyudi melanjutkan bahwa terdapat banyak tumpang tindih antara Undang-Undang Desa dengan irisan 21 Undang-Undang lainnya. 

Oleh karena itu, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI), pihaknya mengusulkan revisi Undang-Undang Desa untuk menata ulang agar setala dengan 21 Undang-Undang tersebut.

"Mirip-mirip omnibus law," jelas Wahyudi.

Wahyudi mencontohkan, banyak pasal dalam Undang-Undang Desa yang tumpang tindih dengan irisan 21 Undang-Undang lainnya, seperti Undang-Undang tentang Fakir Miskin dan Penetapan Status Hutan Lindung yang dulunya hutan ulayat.

Pada kesempatan yang sama, saya juga berdiskusi dengan Sabiq Muhammad, Kepala Desa Prawatan, Kecamatan Jogonalan, Klaten.

Senada dengan Wahyudi, Kades Termuda Klaten yang rela batalkan beasiswa S2 ke China demi membangun Desa Prawatan ini memaparkan bahwa fokus revisi Undang-Undang Desa tidak terletak pada perpanjangan masa jabatan kepala desa. 

Ia menekankan pentingnya mengembalikan dan mengakui hak kepala desa dan hak adat.

Sabiq mengkritik program pemerintah yang selama ini bersifat top-down, sehingga kepala desa hanya berperan sebagai pelaksana, bukan pengkonsep. Hal ini menyebabkan minimnya otonomi desa dalam membangun wilayahnya.

Padahal, menurut Sabiq, kepala desalah yang lebih memahami konteks dan kondisi di lapangan. 

"Desa selalu menjadi korban program pemerintah pusat. Sehingga, kepala desa selalu disandera, dituntut oleh masyarakat setempat, dan didesak oleh pemerintah pusat," ujarnya.

Ironisnya, lanjut Sabiq, di tengah perjuangan desa untuk otonomi dan pengakuan hak, terdapat oknum anggota legislatif yang justru memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi. 

Mereka menganggap diri berjasa karena membantu desa mendapatkan kuota bantuan keuangan dari kabupaten maupun provinsi. Bantuan yang seharusnya menjadi hak masyarakat ini diubah menjadi alat untuk menjebak warga dalam hutang budi.

Ketika pemilihan legislatif (Pileg) tiba, jasa ini diungkit untuk memaksa warga memilih mereka kembali. Transaksi politik pun terjadi, di mana oknum anggota legislatif bekerja sama dengan broker proyek untuk menjual kuota bantuan kepada desa.

Sistem beli kuota bantuan ini berlawanan dengan amanat UU Desa yang mewajibkan pengerjaan proyek desa dilakukan secara swakelola dan memberdayakan warga desa. 

Alih-alih membangun desa, sistem ini justru memperkuat eksploitasi politik dan melemahkan partisipasi masyarakat [mhg]. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun