Elga Sarapung menyambut saya dengan senyum hangat ketika saya masuk ke kantor Institute for Inter-Faith Dialogue in Indonesia (Interfidei) Rabu 13 Desember 2023 lalu di Jalan Banteng Utama, No. 59, Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik.
"Apa kabar?" tanyanya dengan mata berbinar-binar.
Setelah berbincang ringan, ia mengajak saya berkeliling kantor sambil menunjukkan beberapa lembar arsip yang terpampang di dinding.
Dindingnya penuh dengan foto tokoh-tokoh agama dan budaya di Indonesia. Ada Ibu Gedong Bagoes Oka, tokoh Hindu Bali yang dekat dengan Gus Dur dan Sukarno. Ada juga foto Romo Mangun.
Dan tentu saja, foto Gus Dur sendiri tergurat jelas penuh senyuman.
Dinding-dindingnya juga dipenuhi dengan foto-foto pendiri Interfidei, seperti budayawan almarhum Dr. Sumartana, almarhum Pdt. Eka Darmaputra, Ph.D., Daniel Dhakidae, Ph.D., dan Dr. Djohan Effendi, bersama tokoh-tokoh lintas iman lainnya.
Dan kamu tahu, mereka bahkan memiliki foto KH. Sayyed Arifin Assagaf dari Yayasan Alkhairaat. Rasanya seperti di sebuah hall of fame religius di ruang itu.
FYI, Interfidei atau dalam Bahasa Indonesia Institut Dialog Antar Iman di Indonesia (Institut DIAN) didirikan pada tanggal 20 Desember 1991 oleh sekelompok teolog dan para cendikia di Yogyakarta serta dimulai dari sebuah forum sederhana.
Forum ini adalah tempat orang-orang lintas iman dapat berkumpul untuk berbagi ragam keyakinan mereka, mendiskusikan keragaman, dan menghubungkan pemikiran mereka dengan kehidupan sehari-hari.
Saya merasa sangat beruntung berkesempatan mengunjungi Interfidei dan berbincang dengan Elga Sarapung, sang direktur.
Tempat ini penuh dengan energi kreatif, dengan pajangan-pajangan yang menggugah pikiran dari para seniman muda yang berjejer di dinding. Dan bagian terbaiknya adalah perpustakaan dan toko buku.
Kami akhirnya menyudahi room tour menjelajahi hal-hal keren, karena akan ada sesi yang tidak kalah kerennya, yaitu sharing session bersama Jenna Aubrey, mahasiswi Bachelor of Global Security (Terrorism and Counterterrorism Studies) di Murdoch University sekaligus peserta magang di Interfidei berkat kerjasama antara Interfidei dengan Australian Consortium for 'In-Country' Studies (ACICIS).
Kegiatan bertajuk Bridging All Communities in Harmony Through Youth Experience ini dipandu oleh Fari Hakim, Research and Development Staff di Institut DIAN/Interfidei.
Selama enam pekan magang di Interfidei, Jenna berkunjung ke komunitas-komunitas keagamaan (religious visitation), mengunjungi sekolah (school visitation), memfasilitasi kelas bahasa Inggris setiap Jumat dengan metode mendiskusikan topik tertentu yang sedang hangat, dan terlibat dalam program penerjemahan situs web Interfidei.
Pada program religious visitation, Jenna terjun secara langsung dengan berbagai komunitas seperti Aisiyah, Saptodarmo, Fatayat NU, serta komunitas Hindu, Buddha, dan Syiah.
Ia tidak hanya menjadi pengamat pasif; ia bergabung dengan acara Buddha di mana ia belajar melantunkan doa-doa dan bahkan berpartisipasi dalam upacara Tilem (rerahinan) dari awal hingga akhir di komunitas Hindu.
Di Saptodarmo, ia juga ikut dalam ibadah sujud, dan menurut Jenna, momen yang istimewa adalah ketika berada di Aisiyah dan Fatayat NU di mana ia bisa merasakan perspektif perempuan dalam komunitas keagamaan.
Ini adalah pengalaman yang belum pernah dia rasakan selama di Australia, di mana agama menjadi ranah yang sepenuhnya privat di sana.
Di tengah-tengah diskusi, Wali, seorang pemuda dari Pakistan, mengajukan sebuah pertanyaan cukup menarik: "Ketika kita berbicara tentang terorisme, mengapa hal itu selalu dikaitkan dengan agama tertentu?"
Jenna berpendapat bahwa terorisme dapat dimotivasi oleh interpretasi agama, "Terorisme memiliki aspek religius, atau dimotivasi oleh agama; kejahatan yang berkedok agama."
Namun, ia juga mengkritik persepsi tentang terorisme yang bias dan white supremacist. Hal ini dapat menciptakan miskonsepsi, dan dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok tertentu mungkin tidak memiliki pilihan lain selain memperjuangkan kebebasan atau tanah air mereka dari penindasan.
Dalam kasus-kasus seperti ini, label terorisme bisa jadi bersifat politis.
Jenna juga mengunjungi dua sekolah selama masa magangnya dalam progam school visitation, yaitu SMA BOPKRI 2 Yogyakarta dan SMA PIRI 1 Yogyakarta. Dia memilih untuk mendiskusikan media sosial, ujaran kebencian (hate speech), dan cyberbullying (perundungan siber) dengan para siswa.
Hanifah, salah satu peserta diskusi, mengajukan pertanyaan menarik yang membuat kami berpikir.
Ia bertanya, "Apakah ada aspek sosial, budaya, atau agama yang berkontribusi terhadap perundungan dan berdampak pada kesejahteraan mental siswa?"
Jenna merespon bahwa ia belum mendalami masalah ini dalam studinya. Pertanyaan tersebut kemudian ditanggapi oleh Zera. Menurut Zera, memang ada interpretasi agama yang dapat memicu terjadinya perundungan siber.
Interpretasi agama terkadang dapat membentuk nilai-nilai yang dipegang oleh anak muda, tetapi mereka juga memiliki perspektif unik mereka sendiri tentang kehidupan.
Ketika seorang anak muda memegang nilai-nilai yang bertentangan dengan tafsir agama secara umum, hal ini bisa menjadi pemicu terjadinya cyberbullying di media sosial.
"Itu semacam paradoks bagi kita. Saya melihat bahwa kita percaya pada agama, tapi entah bagaimana kehidupan sehari-hari kita tidak menunjukkan nilai-nilai agama. Kita sering menyaksikan kekerasan dalam beragama," kata Zera.
"Di Indonesia, setiap hari kita berbicara tentang agama, kita berbicara tentang diskriminasi. Setiap hari kita berbicara tentang ini, tapi kita melakukan ini (diskriminasi)," timpa Suster Imma Silalahi mengiyakan perkataan Zera.
Selain itu, Jenna merefleksikan bahwa sangat penting untuk terlibat dalam jaringan dan dialog lintas kelompok untuk memperkuat hubungan, menghilangkan stigma dan prasangka, dan mempromosikan kolaborasi.
Ia juga menekankan pentingnya membuka percakapan dan pertukaran budaya antar kelompok. Hal ini sangat penting untuk membangun jembatan antar komunitas.
Sebelum sesi berakhir, Ferry Fitrianto mengajukan pertanyaan yang menggugah: ia bertanya-tanya apakah Islamofobia masih lazim di Australia.
Jenna mengakui bahwa di Australia, Islamophobia masih merupakan permasalahan yang ada. Ia menyatakan bahwa terdapat banyak pemahaman yang keliru mengenai Islam dan umat Muslim, termasuk yang dibentuk oleh media.
Sebagian besar warga Australia memiliki pengetahuan yang terbatas tentang Islam dan Muslim, seringkali bergantung pada representasi media yang cenderung negatif dan tidak akurat. Representasi ini dapat memperkuat stereotip negatif terhadap Islam dan Muslim, yang berpotensi memicu Islamophobia.
Pandangan Jenna terhadap Islam dan Muslim mengalami perubahan ketika ia mengunjungi Indonesia. Selama kunjungannya, ia berinteraksi dengan berbagai komunitas, termasuk umat Muslim, dan memperoleh pemahaman baru tentang kehidupan dan pengalaman mereka.
Pengalaman ini membantu Jenna untuk melihat Islam dan Muslim dari sudut pandang yang berbeda, dan mengajaknya untuk menggugat kesalahpahaman yang mungkin dimilikinya sebelumnya [mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H