Dalam kasus-kasus seperti ini, label terorisme bisa jadi bersifat politis.
Jenna juga mengunjungi dua sekolah selama masa magangnya dalam progam school visitation, yaitu SMA BOPKRI 2 Yogyakarta dan SMA PIRI 1 Yogyakarta. Dia memilih untuk mendiskusikan media sosial, ujaran kebencian (hate speech), dan cyberbullying (perundungan siber) dengan para siswa.
Hanifah, salah satu peserta diskusi, mengajukan pertanyaan menarik yang membuat kami berpikir.
Ia bertanya, "Apakah ada aspek sosial, budaya, atau agama yang berkontribusi terhadap perundungan dan berdampak pada kesejahteraan mental siswa?"
Jenna merespon bahwa ia belum mendalami masalah ini dalam studinya. Pertanyaan tersebut kemudian ditanggapi oleh Zera. Menurut Zera, memang ada interpretasi agama yang dapat memicu terjadinya perundungan siber.
Interpretasi agama terkadang dapat membentuk nilai-nilai yang dipegang oleh anak muda, tetapi mereka juga memiliki perspektif unik mereka sendiri tentang kehidupan.
Ketika seorang anak muda memegang nilai-nilai yang bertentangan dengan tafsir agama secara umum, hal ini bisa menjadi pemicu terjadinya cyberbullying di media sosial.
"Itu semacam paradoks bagi kita. Saya melihat bahwa kita percaya pada agama, tapi entah bagaimana kehidupan sehari-hari kita tidak menunjukkan nilai-nilai agama. Kita sering menyaksikan kekerasan dalam beragama," kata Zera.
"Di Indonesia, setiap hari kita berbicara tentang agama, kita berbicara tentang diskriminasi. Setiap hari kita berbicara tentang ini, tapi kita melakukan ini (diskriminasi)," timpa Suster Imma Silalahi mengiyakan perkataan Zera.
Selain itu, Jenna merefleksikan bahwa sangat penting untuk terlibat dalam jaringan dan dialog lintas kelompok untuk memperkuat hubungan, menghilangkan stigma dan prasangka, dan mempromosikan kolaborasi.
Ia juga menekankan pentingnya membuka percakapan dan pertukaran budaya antar kelompok. Hal ini sangat penting untuk membangun jembatan antar komunitas.