Kami akhirnya menyudahi room tour menjelajahi hal-hal keren, karena akan ada sesi yang tidak kalah kerennya, yaitu sharing session bersama Jenna Aubrey, mahasiswi Bachelor of Global Security (Terrorism and Counterterrorism Studies) di Murdoch University sekaligus peserta magang di Interfidei berkat kerjasama antara Interfidei dengan Australian Consortium for 'In-Country' Studies (ACICIS).
Kegiatan bertajuk Bridging All Communities in Harmony Through Youth Experience ini dipandu oleh Fari Hakim, Research and Development Staff di Institut DIAN/Interfidei.
Selama enam pekan magang di Interfidei, Jenna berkunjung ke komunitas-komunitas keagamaan (religious visitation), mengunjungi sekolah (school visitation), memfasilitasi kelas bahasa Inggris setiap Jumat dengan metode mendiskusikan topik tertentu yang sedang hangat, dan terlibat dalam program penerjemahan situs web Interfidei.
Pada program religious visitation, Jenna terjun secara langsung dengan berbagai komunitas seperti Aisiyah, Saptodarmo, Fatayat NU, serta komunitas Hindu, Buddha, dan Syiah.
Ia tidak hanya menjadi pengamat pasif; ia bergabung dengan acara Buddha di mana ia belajar melantunkan doa-doa dan bahkan berpartisipasi dalam upacara Tilem (rerahinan) dari awal hingga akhir di komunitas Hindu.
Di Saptodarmo, ia juga ikut dalam ibadah sujud, dan menurut Jenna, momen yang istimewa adalah ketika berada di Aisiyah dan Fatayat NU di mana ia bisa merasakan perspektif perempuan dalam komunitas keagamaan.
Ini adalah pengalaman yang belum pernah dia rasakan selama di Australia, di mana agama menjadi ranah yang sepenuhnya privat di sana.
Di tengah-tengah diskusi, Wali, seorang pemuda dari Pakistan, mengajukan sebuah pertanyaan cukup menarik: "Ketika kita berbicara tentang terorisme, mengapa hal itu selalu dikaitkan dengan agama tertentu?"
Jenna berpendapat bahwa terorisme dapat dimotivasi oleh interpretasi agama, "Terorisme memiliki aspek religius, atau dimotivasi oleh agama; kejahatan yang berkedok agama."
Namun, ia juga mengkritik persepsi tentang terorisme yang bias dan white supremacist. Hal ini dapat menciptakan miskonsepsi, dan dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok tertentu mungkin tidak memiliki pilihan lain selain memperjuangkan kebebasan atau tanah air mereka dari penindasan.