Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Redaktur di Gusdurian.net dan CMO di Tamasya Buku. Penulis feature dan jurnalisme narasi di berbagai media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sederhana Ala Gus Dur: Bukan Hanya Soal Hemat, Tapi Juga Cerdas dan Berani

15 Oktober 2023   13:49 Diperbarui: 15 Oktober 2023   13:52 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hamada Hafidzu, menyampaikan materi diskusi dalam cangkrukan. Foto: Caca Gusdurian.

Pada ASEAN Literary Festival 2016, dalam sebuah sesi diskusi yang melibatkan Joko Pinurbo dan Sapardi Djoko Damono, dipandu oleh Najwa Shihab dan ditayangkan di saluran YouTube Jakartanicus, terdapat satu topik menarik yang dibahas, yaitu makna dari kata "sederhana".

"Mencintai dengan sederhana itu mencintai yang paling tidak sederhana, paling sulit," kata Jokpin.

Lalu, apa yang dimaksud dengan sederhana? Saya setuju dengan Jokpin, mendefinisikan kata 'sederhana' justru tidak sederhana.


Belakangan ini, muncul isu Frugal living dan menjadi tren di kalangan anak muda. 

Namun, saya mencatat bahwa gaya hidup frugal living lebih menekankan pada isu pengeluaran atau pengelolaan ekonomi, yang menitikberatkan pada hemat dan tidak boros.

Apakah sama hidup sederhana dengan frugal living

Baca tulisan ini sampai kelar, dan simpulkan sendiri. Kamu juga bisa memberikan pendapat yang berbeda di kolom komentar jika kurang sepakat dengan argumentasi yang saya bangun.

Pada Jumat, 13 Oktober 2023 lalu, diadakan Cangkrukan Spesial Bedah Buku Ajaran-ajaran Gus Dur karya Nur Kholik Ridwan. Tema yang dibahas adalah kesederhanaan, yang merupakan salah satu dari sembilan nilai utama dalam laku hidup Gus Dur.

Hamada Hafidzu, sebagai pemantik diskusi, lantas mengajukan pertanyaan kepada forum, "Dari refleksi teman-teman, tentang kesederhanaan yang ditampilkan oleh Gus Dur, bagaimana pendapat teman-teman mengenai kesederhanaan tersebut?"

"Sederhana bukan hanya bicara tentang harta benda, tapi juga tentang cara Gus Dur menyederhanakan sesuatu yang rumit dengan slogannya, 'gitu aja kok repot,'" jawab A. Wasil Mustofa, salah satu peserta cangkrukan.

Berbeda dengan Wasil, peserta cangkrukan yang lain, Noufal Rafif Muzakki, berpendapat bahwa ketika Gus Dur menjadi presiden, beliau mengambil banyak kebijakan yang dianggap kontroversial. Noufal melihat bahwa itu adalah langkah berani, misalnya dalam membela kaum minoritas,  Gus Dur tidak takut kehilangan jabatan atau kesempatan kekuasaan.

"Justru aku melihat kesederhanaan beliau di sana," kata Noufal.

Jika kita melihat kembali definisi sederhana, maka perlu dicatat bahwa sederhana berbeda dengan pelit. 

Sederhana berarti menjalani kehidupan sesuai dengan kepatutan dan dalam batas porsinya. 

Dalam konteks ini, sederhana mengacu pada kemampuan seseorang untuk memiliki banyak hal, tetapi dia memilih untuk tidak melakukannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang substansial.

Misalnya, ketika seseorang memilih cara berpakaian, mengapa dia memilih gaya berpakaian tertentu? Yang dia pertimbangkan adalah substansinya, bukan sekadar tampilan yang kece di media sosial.

Tidak hanya sering dihubungkan dengan sifat pelit, sederhana juga sering dihubungkan dengan keadaan miskin. Saya pribadi sangat tidak sependapat dengan pandangan tersebut. 

Peserta cangkrukan. Foto: Caca Gusdurian.
Peserta cangkrukan. Foto: Caca Gusdurian.

Untuk lebih jelasnya, kita dapat meminjam istilah Lis Hartono, atau yang dikenal dengan nama Cak Lontong. Menurut Cak Lontong, miskin adalah tentang kondisi hidup, sementara sederhana adalah tentang cara hidup.

Cara hidup ini yang harus kita garis bawahi. Kembali ke Gus Dur, sebagai seorang presiden, ia memiliki pilihan untuk menentukan cara hidupnya, cara makannya, cara berpakaiannya, dan hal-hal lainnya.

Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Wiji Nurasih, moderator cangkrukan. Ia mengutip wawancara Gus Dur bersama Andy F. Noya dalam acara Kick Andy, di mana Gus Dur diturunkan dari jabatan presiden secara tidak sah. 

Gus Dur pada saat itu memiliki kemampuan untuk menggerakkan massa ke Jakarta untuk mempertahankan posisinya. Namun, Gus Dur memilih untuk tidak melakukannya.

Menurut Wiji, ini adalah contoh cara berpikir yang sederhana sekaligus cerdas, serta mengedepankan kepentingan bersama agar tidak terjadi pertumpahan darah.

Dalam puisi Sapardi yang disinggung di muka tulisan, "Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana," kata "sederhana" memiliki makna yang mendalam. Seperti yang disebutkan oleh Jokpin, sederhana seringkali tidaklah sederhana. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana hal ini berkaitan dengan Gus Dur?

Gus Dur mungkin bukan seorang pujangga, bukan penulis puisi, atau tidak menulis syair. Namun, dalam laku hidupnya, dalam cara berfikirnya, dan dalam cara dia menyikapi banyak hal, Gus Dur menunjukkan ciri-ciri seorang pujangga. 


Dalam buku Ajaran-ajaran Gus Dur, merupakan syarah yang menjelaskan nilai-nilai utama yang dianut oleh Gus Dur, terdapat tiga aspek utama yang berkaitan dengan kesederhanaan.

Pertama, yang paling menonjol adalah pandangan Gus Dur yang menekankan pentingnya melihat segala sesuatu dari segi substansi, tanpa berbelit-belit dan tidak ada gimmik

Makanya, kita kemudian sering mendengar adegium yang cukup terkenal, "gitu aja kok repot."

Kedua, kesederhanaan bagi Gus Dur adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencapai zuhud, yaitu sikap merasa cukup dengan apa yang dimiliki.

Ini terbukti ketika, menjelang akhir hayatnya, Gus Dur bahkan harus meminjam uang sebesar lima juta kepada anaknya, Alissa Wahid, meskipun Gus Dur adalah seorang mantan presiden. 

Tindakan ini menggambarkan sikap kesederhanaan yang jarang ditemui di zaman ini.

Jika kita mengaitkannya dengan pernyataan Cak Lontong sebelumnya, dapat dilihat bahwa Gus Dur tidak dalam kondisi miskin, tetapi memilih untuk menjalani cara hidup yang sederhana dan bersahaja. 

Ketiga, Gus Dur menjadikan dirinya sebagai teladan. Beliau tidak pernah menjadikan dunia sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Beliau merasa cukup dengan apa yang dimilikinya dan menjadikan dirinya sebagai kongruen, meminjam istilah dari Carl R. Rogers, sebagai a way of being bagi banyak orang lintas zaman dan generasi [mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun