Setiap kali mendengar pengumuman jumlah infak yang terkumpul menjelang khatib memberi khutbah setiap salat Jumat, saya merasa bahwa ada sesuatu yang keliru soal cara pandang mayoritas takmir masjid yang mengelola infak terhadap uang infak yang diamanatkan kepada mereka.
Umumnya yang banyak dipikirkan oleh para pengelola masjid terkait uang infak adalah memperindah masjid. Mulai dari memperbaharui mimbar, menambahkan ornamen seperti running text, dan melakukan pembangunan lainnya.
Akibatnya, sebagian besar uang infak dari jamaah teralokasikan untuk biaya perawatan masjid, karena bangunan masjid yang mewah memerlukan biaya perawatan yang lebih tinggi.
Namun, ironisnya, tidak banyak jamaah yang mau datang ke masjid tersebut.
Pertanyaannya, mengapa orang mulai enggan datang ke masjid?
Dugaan saya karena masjid sendiri terkesan menjauh dari masyarakat. Dalam diskusi-diskusi saya sering mendengar, dan kadang mengangguk setuju, banyak orang datang ke masjid karena beban kehidupan.
Mereka berharap dapat menemukan ketenangan di masjid, namun malah sebaliknya. Mereka merasa dihakimi, diceramahi, dan sebagainya.
Belum lagi masjid yang hanya buka pada jam-jam salat, kemudian terkunci kembali.
Mungkin kamu sering melihat orang datang ke masjid hanya untuk buang air. Menurut saya, ini justru menjadi kunci bagi orang-orang untuk mencintai masjid, karena mereka merasa berjasa dan butuh akan adanya fasilitas tersebut.
Apalagi jika masjid berada di pinggir jalan, seharusnya dapat menjadi persinggahan bagi para musafir.
Awalnya, mungkin para musafir tersebut datang hanya untuk beristirahat, kemudian hati mereka bisa tergerak untuk beribadah juga.