Tetapi saya tidak terlalu peduli, karena memang manusia terkadang aneh. Saat musim hujan, ia merindukan kemarau. Saat kemarau tiba, ia berdoa agar hujan turun.
Orang di kota ingin liburan di kampung yang penuh dengan sawah hijau. Orang di kampung berbondong-bondong menuju kota untuk meningkatkan "kualitas hidup".
Kualitas hidup dewasa ini memang sering diukur secara transaksional. seperti lulus atau tidak lulus, semuanya dianggap sebagai transaksi. Ketika tidak lulus dianggap semua usahanya sia-sia, "percuma saya sudah berusaha, toh gagal juga".
Bahkan dalam hal salat Jumat sendiri, sering kali juga ada elemen transaksionalnya.
Misalnya, bagi anak kecil atau seperti saya yang tinggal di kos-kosan, dengan salat Jumat, mungkin diharapkan untuk ngalap berkah (baca: dapat makanan gratis).
Namun, orang dewasa kadang-kadang lebih tidak tahu diri. Salat Jumat dilakukan dengan niat untuk mendapatkan surga.
Mungkin karena sejak kecil kita selalu diajarkan untuk menjadi materialistik. Semua diukur berdasarkan materi. Begitu juga ketika kita beribadah harus ada imbalan pahalanya.
Saya jadi teringat lagu Chrisye feat. Ahmad Dhani.
"Jika surga dan neraka tak pernah ada, masih kah kau bersujud padanya?"
Belum lagi kita yang dewasa, yang hanya menunaikan salat wajib di hari Jumat dan salat sunat di Hari Raya, sudah begitu minta surga.
Lantas, apakah mengharapkan snack atau makanan di masjid, atau bahkan mengharapkan pahala dengan salat Jumat itu salah?