Selain itu, minimnya akses terhadap buku-buku yang relevan semakin mempersulit siswa dalam belajar. Ini masalah krusial yang perlu ditangani di Pulau Runduma adalah kekurangan buku di perpustakaan.
Hal ini penting karena buku merupakan salah satu cara untuk memberikan akses literasi kepada anak-anak di pulau tersebut.
Tidak hanya untuk anak-anak, penting juga untuk memenuhi perpustakaan dengan buku-buku yang relevan, seperti buku tentang biota laut, budidaya kopra, dan topik-topik lain yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal.
Kedua, masalah terkait dengan para guru yang terjebak dalam metrocentricity juga perlu segera diselesaikan. Banyak guru yang lebih memilih mengajar di kota-kota besar daripada tinggal dan mengajar di Runduma.
Berdasarkan cerita dari Arum, meskipun terdapat data terakhir yang menunjukkan keberadaan guru-guru dengan status Aparatur Sipil Negara (ASN) dan honorer yang cukup untuk mengajar di Pulau Runduma, namun di lapangan tidak semua dari mereka aktif mengajar.
Terdapat sejumlah guru yang ditempatkan di Pulau Runduma. Untuk jenjang Sekolah Dasar, terdapat 4 orang guru berstatus ASN dan 4 orang guru honorer.
Sedangkan untuk jenjang SMP, terdapat 5 orang guru berstatus ASN, 1 orang staf tata usaha, dan 6 orang guru honorer. Untuk jenjang SMA, terdapat 5 orang guru berstatus ASN dan 3 orang guru honorer.
Ada rumor bahwa sebagian guru dengan status ASN yang seharusnya ditempatkan di Pulau Runduma lebih memilih mengajar di ibukota Wakatobi, Wangi-Wangi.
Kondisi ini diperparah dengan Pulau Runduma yang dijuluki 'Nusa Kambangannya Wakatobi' atau bahkan disebut sebagai 'Runduma Tempat Buangan PNS Baru'.
Pulau Runduma memiliki satu Taman Kanak-Kanak (TK), satu Sekolah Dasar (SD), satu Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan satu Sekolah Menengah Atas (SMA). Dari keempat sekolah tersebut, SMP adalah yang paling aktif dengan fasilitas yang cukup memadai.
Namun, sayangnya, TK, SD, dan SMA hampir tidak memiliki kegiatan belajar mengajar yang berjalan dengan baik.