Atmosfer politik semakin memanas jelang pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024 mendatang.Â
Dalam arena politik yang penuh gejolak, pertempuran narasi antara relawan ketiga bakal calon presiden telah menguasai perbincangan publik tanpa henti.Â
Seperti perang retoris yang menghiasi sosial media dan layar gawai saya. Ada relawan yang merasa jagoannya menjadi target penjegalan, diintervensi, bahkan ada yang tak segan menuduh presiden yang sedang berkuasa terlibat dalam "cawe-cawe" politik.Â
Masyarakat kita memang belum sepenuhnya menyadari dampak dari polarisasi yang terjadi dalam dunia politik.Â
Pilpres yang lalu, bangsa ini terpecah menjadi dua kubu yang saling berseberangan, dengan julukan "Cebong" dan "Kampret" yang menjadi simbol perbedaan ideologi dan pandangan politik.
Bahkan, ada yang sampai mendoakan agar jagoannya terpilih, jika tidak, maka ia khawatir tidak akan ada lagi yang menyembah Tuhan.
Seolah-olah keselamatan dan kesalehan agama hanya bergantung pada pilihan politik semata. Â
Sebagai orang awam, saya jadi bingung. Bagaimana mungkin mereka yang dulu saling bertarung kini berjalan seiring bahu seayun langkah di panggung kekuasaan? Apakah hal yang sama juga akan terjadi pada koalisi 2024 yang akan terbentuk saat ini?Â
Saya jadi berpikir, mungkinkah, sebenarnya bakal calon yang akan bertarung adalah sekelompok wayang dengan dalang yang sama? Tapi jangan khawatir, itu hanya imajinasi liar saya.
Kita seharusnya lebih khawatir dengan apa yang disampaikan oleh guru saya, A.M. Safwan, Koordinator JAKFI Nusantara, dalam Kuliah Umum Filsafat Pendidikan: Antara Pengetahuan Instrumen dan Kapitalisme Moral yang diselenggarakan secara daring pada Rabu, 14 Juni 2023 yang lalu.