Dalam perjalanan hidup saya, terlibat secara aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang literasi menjadi suatu keberuntungan yang tak ternilai. Dari sana, saya berkesempatan menjelajahi samudra kosakata hingga ke berbagai pelosok negeri.
Namun di antara perjalanan yang telah saya lalui, ada satu pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Program ‘Merdeka Belajar’ dengan 24 episode yang telah diluncurkan hingga Maret 2023 lalu.
Tetapi saya telah berkesempatan melintasi negeri ini dengan akses yang melimpah ke berbagai sumber daya literasi yang mengagumkan. Dari Perpustakaan Nemu Buku di Sulawesi Tengah yang menghidupkan semangat literasi, hingga Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta yang mengusung pendekatan "kurikulum merdeka" yang sesungguhnya.
Di tengah perjalanan ini, kata-kata Yohanes Surya, pendiri Asian Physics Olympiad, menghantui pikiran saya.
"Tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah mereka yang belum mendapatkan kesempatan untuk belajar dari guru yang baik dan metode yang tepat."
Saat membaca pengantar buku antologi Sekolah Menengah Suka-Suka, karya siswa SMA eksperimental SALAM, saya tersentak oleh pengantar yang menarik dari Agus Mulyadi. Dalam buku mungil namun sarat makna ini, Agus Mulyadi menulis pernyataan kontroversial dari seorang tokoh, "Kalau kau ingin ijazah, sekolah. Kalau kau ingin pintar, belajar."
Sungguh, sulit bagi saya untuk tidak setuju dengan pernyataan tersebut.
Namun, mari kita jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Saya tidak bermaksud mengajak Anda untuk meninggalkan sekolah, apalagi berhenti belajar. Namun, dalam konteks ‘Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar,’ ada sudut pandang alternatif yang ingin saya bagikan.
Sudut pandang ini telah mengubah cara pandang saya terhadap dunia pendidikan dengan segala keunikannya.
Anda pasti sepakat bahwa sesuatu yang bagus dan teruji selalu muncul melalui mekanisme ‘tantang-menantang.’ Contohnya program ‘Merdeka Belajar’ yang telah direncanakan sejak tahun 2019 itu adalah hasil dari ‘pertentangan’ dari Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) terhadap kurikulum sebelumnya yang tidak lagi relevan.
"Pendidikan kita punya masalah yang amat besar bahkan dianggap sebagai krisis, yaitu bahwa sekitar 70% anak-anak Indonesia usia 15 tahun yang waktu itu diukur menggunakan PISA (Programme for International Student Assessment) tidak mencapai kompetensi minimum pada komponen literasi dan numerasi," ujar Sekjen Kemendikbudristek Ir. Suharti, MA, PhD dalam webinar Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar pada 17 Mei 2023 lalu yang disiarkan melalui kanal YouTube Kompas.com.