Senada dengan apa yang disampaikan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. Ia mengidentifikasi tiga kunci konektivitas pembayaran lintas negara di ASEAN (Rachman, 2023). Pertama, melalui QR Code, Fast Payment, Real Time Gross Statement, dan Local Currency Settlement. Kedua, tata kelola yang baik dalam mengintegrasikan sistem pembayaran digital. Ketiga, kampanye untuk mendorong penggunaan transaksi lintas negara dengan mata uang masing-masing melalui layanan digital. Dengan pengembangan ini, Bank Indonesia sekaligus bisa memastikan bahwa penerapan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau rupiah digital akan mudah tercapai.
Dukungan untuk hal ini semakin kuat dengan proyeksi  bahwa transaksi e-commerce akan melesat ke angka Rp 572 triliun pada 2023, dan bahkan diperkirakan terus meningkat hingga  Rp 689 triliun pada 2024. Ini menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa dan menjanjikan potensi besar bagi sektor e-commerce di masa depan.
Penerapan CBDC tentu akan memberikan dampak positif pada sistem pembayaran yang lebih cepat, efektif, dan efisien. Saat ini, sudah terdapat 9 negara yang menerapkan CBDC secara penuh. Bank Indonesia saat ini sedang melakukan kajian dan asesmen terhadap potensi penerapan CBDC di Indonesia, mengambil contoh implementasi CBDC oleh Bank Sentral China dengan e-CNYÂ (Digital Yuan).
Meskipun beberapa langkah telah diambil, konektivitas sistem pembayaran di ASEAN masih menghadapi beberapa tantangan yang tidak mudah diatasi. Perbedaan regulasi antar negara, integrasi keuangan yang terbatas, keragaman model dan proses bisnis, variasi spesifikasi pembayaran, hingga kompleksitas keanggotaan industri, dan biaya investasi yang tinggi dalam infrastruktur digital, serta pembangunan tidak merata antarnegara anggota adalah beberapa tantangan yang dihadapi. Menghubungkan ke-11 negara menjadi tugas yang kompleks dan membutuhkan upaya yang besar untuk mengatasi tantangan-tantangan ini.
Keamanan data juga merupakan fokus penting, terutama mengingat meningkatnya disrupsi dan ancaman siber seperti serangan ransomware yang baru-baru ini dialami oleh Bank Syariah Indonesia (BSI). Menurut laporan perusahaan intelijen Check Point's dalam laporan keamanan sibernya, Check Point's Threat Intelligence Report kuartal ketiga tahun 2022, wilayah Asia mengalami jumlah serangan siber tertinggi di seluruh dunia, dengan rata-rata 1.778 serangan per organisasi dalam seminggu.
Selain itu, pembangunan infrastruktur teknologi yang tidak merata di seluruh kawasan Indonesia juga perlu diperhatikan agar konektivitas dapat terwujud sepenuhnya. Baru-baru ini, Indonesia dikejutkan oleh dugaan korupsi pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G yang taksir merugikan negara mencapai Rp 8,032 triliun, menambah masalah menjadi makin runyam.
Proyek pembangunan menara BTS 4G atau stasiun pemancar bertujuan untuk memberikan pelayanan digital di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Menara BTS ini menjadi pendukung utama untuk penerapan QR Code yang membutuhkan sinyal telekomunikasi yang stabil.
Sementara itu penggunaan QR Code atau QRIS dalam konteks Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dengan jumlah pengguna sebanyak 20,59 juta dari total 28,75 juta pengguna. Menariknya, laporan Bank Indonesia mencatat bahwa Provinsi Bali, yang biasanya menjadi garda depan dalam hal pariwisata dan kebudayaan di Indonesia, memiliki jumlah pengguna QRIS yang paling sedikit, yaitu sebanyak 979.788 pengguna hingga akhir Desember 2022.
Kesimpulannya,sistem pembayaran yang terhubung ini memiliki potensi untuk memudahkan transaksi lintas negara, mengurangi biaya dan waktu transaksi, serta meningkatkan efisiensi bisnis di kawasan ASEAN. Terdapat langkah-langkah yang telah diambil, namun masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi, termasuk perbedaan regulasi, model bisnis, dan keamanan data. Dalam konteks Indonesia, penggunaan QRISÂ masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dan perlu perhatian lebih terhadap pembangunan infrastruktur teknologi di daerah lain, dan yang terpenting, bagaimana kelanjutan pembangunan menara BTS 4G?
Sebagai penutup, berikut adalah beberapa catatan penting dari saya untuk pihak terkait guna konektivitas ini segera terwujud. Pertama, penting untuk harmonisasi regulasi antara bank sentral dan pemerintah negara-negara ASEAN agar integrasi sistem pembayaran lintas negara dapat berjalan lancar. Regulasi yang seragam akan mempercepat proses integrasi dan transaksi lintas negara. Kedua, kolaborasi antara industri dan bank sentral perlu ditingkatkan, dengan melibatkan asosiasi industri yang relevan, untuk mendukung pengembangan sistem pembayaran terkoneksi. Ketiga, keamanan data harus menjadi fokus utama, dengan meningkatkan investasi dalam perlindungan siber dan kerja sama dengan lembaga keamanan siber. Keempat, prioritas harus diberikan pada pembangunan infrastruktur teknologi yang merata di seluruh kawasan ASEAN, utamanya Indonesia yang masih banyak tertinggal, seperti menara BTS 4G, untuk mendukung konektivitas jaringan telekomunikasi serta sistem pembayaran yang efektif. Terakhir, penting untuk meningkatkan kampanye dan edukasi kepada masyarakat mengenai keuntungan dan kemudahan penggunaan QR Code dan sistem pembayaran terkoneksi melalui layanan digital.
Dengan implementasi saran-saran ini, diharapkan konektivitas sistem pembayaran ASEAN dapat meningkat secara signifikan, memberikan manfaat berupa percepatan pembayaran lintas negara, pengurangan biaya dan waktu transaksi, serta peningkatan efisiensi bisnis di kawasan ASEAN [Mhg].