OlehÂ
Phua Siew Chye dan Lily KongÂ
Di dalam tulisan ini disebutkan bahwa menurut Johnson (280) budaya dipandang sebagai "pengingat" dari "pergolakan atas makna". Produksi dan konsumsi atas makna di dalam bentuk budaya dapat diteorikan sebagai sebuah "arena" (Johnson 283 -- 85). Musik Populer sebagai sebuah bentuk budaya dapat diamati dalam hal makna yang disandikan dan diterjemahkan oleh para penghasil dan penonton yang berbeda.Â
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana dua kelompok yang berbeda di dalam masyarakat, yaitu kaum elit yang berkuasa dan "masyarakat kebanyakan" dalam sebuah bagian industri musik, menggunakan bentuk budaya yang sama (musik populer) untuk tujuan yang berbeda. Khususnya bagaimana kaum elit menggunakan musik populer untuk mencapai hegemoni dan mendorong bentuk perilaku yang dapat diterima secara sosial, sementara kelompok yang lain menghasilkan musik mereka sendiri untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka mengenai masyarakat dan penyakit-penyakit sosial, dan sebagai panggilan untuk melawan hegemoni kelas elit.
Disebutkan di sini bahwa penelitian terhadap musik populer mengadaptasi berbagai pendekatan  dan sudut pandang multi disiplin. Jenis penelitian ini berkonsentrasi pada penyebaran gaya musik tertentu (Ford 455-64) maupun penyebaran lebih banyak manifestasi nyata dari musik seperti stasiun radio (Carney 58-66). Terdapat penelitian juga pada gaya musik dari berbagai daerah budaya (Lomax and Erickson 75-110) dan analisis lirik untuk mengungkap kualitas unik dari tempat, ide dari tempat dan ruang, dan tema lingkungan (Jarvis 96-122).Â
Dijelaskan bahwa analisis yang akan kita coba di sini berada di bawah bagian kajian budaya dan sosiologi (Meltzer; Frith; Street; Wicke). Minat kita sama dengan mereka yang telah meneliti penggunaan musik populer sebagai sarana menyuarakan ketidakpuasan terhadap masyarakat. Sebagai contoh Denisoff (15-25) telah menunjukan bagaimana lagu-lagu protes dari tradisi yang berbeda meresap ke dalam musik rock and roll dan cara pesan protes disampaikan melalui lirik, bunyi yang tidak biasa dan gaya hidup musisi rock.
Pentingnya unsur non lirik dari musik dan gaya hidup "penggemarnya" telah juga dititikberatkan Miller dan Skipper (26-37). Inspirasi juga ditarik dari mereka yang menganalisa cara kelompok-kelompok minoritas dan subkultur menggunakan pemaknaan mereka terhadap berbagai bentuk musikal untuk memperkuat identitas kelompok mereka dan mengekspresikan perlawanan mereka terhadap sistem nilai yang dominan (Maultsby 51-60; Winders 61-73; Tanner 68-71; Hebdidge).Â
Disebutkan juga bahwa dasar konseptual analisa yang digunakan terutama pada ideologi, hegemoni dan sosialisasi. Ideologi didefinisikan sebagai sebuah kisi dari ide-ide yang menyerap tatanan sosial yang membentuk kesadaran kolektif dari suatu zaman (Thompson 3-4). Orang-orang yang mempromosikan makna ini ialah para pemikir dari kelas-kelas dominan yang ingin  mempertahankan status quo mereka dengan membuat sebuah "kesadaran palsu" di antara orang-orang yang mereka kuasai (McDonough 35-44).
Dijelaskan di sini bahwa menurut Gramsci (Gramsci 245-46), hegemoni menunjuk pada kekuasaan dari kelas dominan untuk membujuk kelas bawah agar menerima nilai-nilai moral, politik dan budayanya (dengan kata lain ideologinya) sebagai tatanan yang sudah kodratnya. Di dalam tulisan ini akan ditunjukan bahwa musik yang diperintahkan oleh kaum penguasa di Singapura terkadang digunakan sebagai alat hegemoni untuk legitimasi politik dan untuk melanggengkan ideologi mereka. Sosialisasi didefinisikan sebagai proses dimana sikap, pandangan dan tindakan seseorang dipengaruhi (seperti oleh keluarga, hubungan teman sebaya, sekolah, media masa dan seterusnya)(Giddens 59-88).
Diuraikan bahwa penolakan kelas bawah dapat berbentuk pergolakan aktif. Seperti melalui kerusuhan atau demonstrasi, atau tidak terlihat dan simbolis, seperti menggunakan sebuah pola perilaku atau sebuah gaya berpakaian tertentu (Jackson 53). Terdapat penjelasan juga bahwa penulisan musik, produksi dan pementasan oleh kelompok bawah dalam masyarakat dapat dipandang sebagai sebuah bentuk penolakan simbolis.
Dipaparkan di sini selama tahun 1960-an, negara-negara barat mengalami ledakan dalam musik rock and roll. Begitu juga Singapura, mengalami ledakan musik, dengan ketenaran dari beberapa band seperti The Quests, Naomi and the Boys, dan The Thunderbirds. Band-band ini juga merekam karya asli mereka. Pada tahun 1970-an, pemerintah Singapura takut budaya obat-obatan terlarang akan muncul di Singapura. Bagi Pemerintah lokal, hippisme dan budaya obat-obatan terlarang, bersama dengan musik yang terkait dengan hal tersebut, secara tidak diinginkan masuk dari "dunia Barat yang merosot".