Mohon tunggu...
I WayanKerianta
I WayanKerianta Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang pemula

-

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kesalahan di Tengah Pembenaran Bahasa Bali di Era Milenial

18 Juni 2021   23:35 Diperbarui: 18 Juni 2021   23:44 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warisan merupakan sesuatu yang diberikan oleh leluhur untuk kita gunakan dengan baik dan kita jaga agar tetap bisa diteruskan kepada keturunan berikutnya. Ketika warisan tersebut dapat digunakan dan dijaga dengan baik maka akan memberikan kebahagian tersendiri bagi leluhur. Sama halnya dengan orang tua yang mewariskan harta kepada anak-anaknya, ketika anak-anak tersebut dapat menggunakan warisan itu dengan baik maka orang tua akan merasa senang, demikian juga sebaliknya jika anaknya tidak mampu menggunakan warisanny dengan baik maka orang tua akan merasa sedih. Demikian pula halnya dengan bahasa Bali yang merupakan warisan bagi krama Bali. Apakah warisan budaya bahasa Bali telah digunakan dan dijaga dengan baik?

Berbicara mengenai penggunaan bahasa Bali, di era milenial saat ini keberadaan dan penggunaan bahasa Bali sebenarnya bisa digolongkan sudah sangat baik. Hal tersebut terlihat dari banyaknya anak-anak muda yang masih menggunakan bahasa Bali sebagai alat komunikasi. Selain itu, juga masih adanya pelajaran bahasa Bali di sekolah sebagai bukti bahwa bahasa Bali masih diperhatikan. Keberadaan penyuluh bahasa Bali juga sebagai bukti bahwa masih banyak generasi muda yang bersedia untuk menjaga dan melestarikan bahasa Bali di tengah era milenial ini. Sosial media juga menjad salah satu piranti yang dapat digunakan untuk melestarikan warisan budaya bahasa Bali tersebut, mulai dari facebook, instagram, atau bahkan tiktok pun kadang menjadi media untuk melestarikan budaya bahasa Bali.

tangkapan layar
tangkapan layar
Seperti yang terlihat pada gambar di atas, bahasa Bali telah digunakan pada google, hal tersebut menjadi bukti bahwa keberadaan bahasa Bali diperhitungkan. Banyak lagi bukti yang menyatakan bahwa bahasa Bali masih ada, masih digunakan dan masih lestari di Pulau Bali. Masih digunakannya bahasa Bali memang menjadi hal yang menyenangkan bagi krama Bali dan leluhur Bali, akan tetapi ada hal yang lebih penting yang harus diperhatikan, apakah generasi muda Bali telah menggunakan warisan budaya Bali yang benar?

Berbicara mengenai penggunaan bahasa Bali, tidak hanya penggunaan untuk komunikasi akan tetapi juga termasuk di dalamnya penulisan bahasa Bali entah itu huruf latin maupun aksara Bali. Sesungguhnya banyak terdapat kesalahan dalam penulisan bahasa Bali menggunakan huruf latin.

tangkapan layar
tangkapan layar
tangkapan layar
tangkapan layar
Gambar di atas merupakan beberapa contoh kesalahan dalam penulisan bahasa Bali yang menggunakan huruf latin. Bisa dilihat disana terdapat penulisan sambal embe. Sesungguhnya "embe" merupakan kata yang diambil dari bahasa Bali yang penulisannya seharusnya "emba", akan tetapi banyak orang yang menuliskan dengan "embe", hal tersebut terkesan simple akan tetapi akan memberi dampak besar jika terus digunakan. Selain "embe" juga ada kesalahan saat penulisan kata kija dan dija. Banyak krama Bali yang menuliskannya dengan kata "kije" dan "dije" padahal seharusnya ditulis menggunakan kata "kija" dan "dija". Hal ini dilakukan berulang kali, dan bukan hanya sekali saja. Karena dalam pemahaman mereka, penulisan kata "kije" dan "dije" adalah penulisan kata yang benar.

tangkapan layar
tangkapan layar
tangkapan layar
tangkapan layar
tangkapan layar
tangkapan layar
Dalam kamus Bahasa Bali sudah tertuang tentang penulisan kata-kata yang benar dalam Bahasa Bali, seperti penulisan kata "suksma", "dija", maupun "kija". Inilah penulisan kata-kata tersebut yang benar, bukan ditulis dengan kata "suksme", "dije", maupun "kije", meskipun dalam pengucapannya mengeluarkan suara yang sama. Seperti yang kita ketahui huruf vokal a jika berada pada akhiran kata maka dibaca sebagai []. Contohnya adalah dalam kata pantai Kuta, huruf a pada akhiran kata Kuta tidak dibaca sebagai a tetapi sebagai sehingga pembacaannya menjadi [k'u].

Kesalahan tersebut sesungguhnya dapat dihindari jika penutur atau pengguna bahasa Bali bersedia memperbaiki demi keberlangsungan bahasa Bali. Akan tetapi, realitanya banyak penutur yang merasa enggan untuk memperbaikinya atau bahkan merasa emosi ketika ada orang yang menegur kekeliruan tersebut. Contohnya saja seperti yang disampaikan oleh I Made Swartama Putra, salah satu guru bahasa Bali di Sekolah Dasar Negeri 5 Ubung ini menyatakan bahwa ada penutur bahasa Bali yang tidak terima ketika ditegur dalam penulisan bahasa Bali. Bagi mereka hal tersebut tidak penting, yang lebih terpenting lawan bicara merasa paham. Bagi sebagian orang mungkin hal tersebut tidak penting dan yang penting lawan bicara paham, akan tetapi sesungguhnya yang jauh lebih penting dari itu adalah apa yang akan kita wariskan untuk penerus atau generasi muda. Apakah kita akan mewariskan bahasa Bali yang benar? Atau sebaliknya kita akan mewariskan bahasa Bali yang salah?

Selain kesalahan penulisan bahasa Bali dalam huruf latin terdapat juga kekeliruan dalam penulisan aksara Bali, seperti pada gambar berikut :

dok. pribadi
dok. pribadi
Gambar tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kesalahan yang masih beredar di krama Bali, mulai dari penulisan instansi, kantor, perusahaan, toko dan fasilitas umum lainnya. Hal tersebut sesungguhnya hal yang sangat menyedihkan, di tengah maraknya kesepakatan untuk melestarikan bahasa Bali, di tengah maraknya program-program pemerintah Bali untuk melestarikan Bahasa Bali, akan tetapi masih ada kesalahan seperti itu dan terpampang di tempat umum. Sungguh sangat disayangkan hal yang seharusnya menjadi contoh dan media untuk menampilkan budaya, justru malah menampilkan yang salah. Entah tidak paham atau hanya sekadar mengikuti anjuran pemerintah untuk menuliskan nama toko, kantor dan lain-lain dengan aksara Bali sehingga papan nama tersebut hanya tersusun aksara Bali yang tidak dapat dibaca, hanya sebuah jejeran aksara yang tidak ada maknanya, apakah itu yang diinginkan?

Dengan membiarkan kesalahan penulisan tersebut, sama saja dengan mewariskan budaya yang salah kepada anak cucu kita. Hal tersebutlah yang harus dihindari. Sebagai penutur bahasa Bali pun harus bersedia menerima kritikan jika memang yang dilakukan tersebut salah, karena teguran itu tidak hanya untuk penutur bahasa Bali, akan tetapi juga untuk masa depan bahasa Bali itu sendiri. Kesalahan tersebut tidak hanya dilihat oleh penutur bahasa Bali itu sendiri, akan tetapi juga oleh mereka yang bukan penutur bahasa Bali, lalu apakah kita akan memperkenalkan pada mereka budaya kita yang salah? Tentu saja kita tidak mau seperti, kita pasti ingin memperkenalkan budaya kita yang benar, untuk itu marilah kita menggunakan bahasa Bali baik itu tulis atau lisan yang baik dan benar. Janganlah kita menyebar luaskan tentang kesalahan-kesalahan yang dianggap benar pada lingkungan masyarakat kita. Jangan melakukan pembenaran ditengah kesalahan yang telah dilakukan, karena pembenaran bukanlah hal yang baik untuk sebuah kesalahan, akan tetapi memperbaiki adalah hal yang tepat dilakukan untuk sebuah kesalahan. Dengan demikian bahasa Bali yang berkembang di era milenial ini bukanlah bahasa Bali yang hanya sekadar dapat dimengerti akan tetapi memang benar bahasa Bali yang baik dan benar. Suatu kesalahan dan kekeliruan yang terjadi selama ini di lingkungan masyarakat Bali wajib untuk kita koreksi dan perbaiki bersama-sama. Mari bersama bergerak memperbaiki diri, memperbaiki kesalahan yang telah ada dan menghapus rasa tidak mau tahu. Karena bahasa Bali ini adalah milik kita, budaya kita dan harta kita yang kelak akan menjad harta anak cucu kita, jadi mari perbaiki kesalahan sebelum mewariskannya pada anak cucu kita. Wariskan ilmu, pengetahuan dan budaya yang benar, bukan ilmu, pengetahuan dan budaya yang salah akan tetapi dibenarkan. Jika kita mewariskan suatu kesalahan yang dibenarkan kepada anak cucuk kita, maka hal tersebutlah yang akan diwariskan pada generasi berikutnya. Sehingga, kesalahan-kesalahan itu akan menjadi abadi tanpa ada perbaikan untuk menuju menjadi suatu yang benar. Permasalahan ini memang nampak seperti masalah yang sepele, tetapi akan berakibat fatal untuk generasi yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun