Menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara serta melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara merupakan tugas pokok dari militer. Segerombol pemberani yang selalu siap terhadap peperangan dan mengorbankan jiwa raganya demi melindungi segenap bangsa dan tumpah darahnya maka layaklah Ia dipanggil seorang prajurit atau tentara. Moralitas, kebenaran, keadilan, kedisiplinan, keberanian, pantang menyerah, loyalitas dan kepatuhan serta cinta tanah air merupakan nilai-nilai dasar yang harus tertanam dalam diri seorang prajurit demi bisa melindungi tanah airnya.
Sejarah perjuangan yang panjang mengantarkan kita kepada kemerdekaan. Dalam peristiwa sejarah tersebut tentara memiliki andil besar dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan dilakukan dengan berbagai pertempuran melawan penjajah yang terjadi di berbagai daerah. Berbagai usaha diplomasi yang dilakukan oleh tokoh intelektual bangsa juga mewarnai proses kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan, Indonesia tidak sepenuhnya merdeka dari belenggu penjajahan, setelah merdeka pada 17 Agustus 1945 di tahun yang sama pada bulan September pasukan Sekutu datang kembali ke Indonesia untuk membebaskan tawanan perang Jepang dan melucuti persenjataan Jepang serta memulangkan tentara Jepang. Niat awal tersebut diterima baik namun, Sekutu punya maksud lain datang ke Indonesia yaitu untuk kembali menancapkan paku kekuasaan di Indonesia. Untuk menumpas Sekutu dari Indonesia maka TNI yang saat itu bernama Tentara Keamanan Rakyat bersama rakyat Indonesia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia alhasil dua tahun setelahnya yaitu tahun 1947 Sekutu berhasil diusir dari Indonesia.
Melompat sedikit jauh ke masa orde baru sejarah perkembangan militer di Indonesia menempatkan militer dalam dua fungsi yaitu sebagai fungsi kekuatan pertahanan dan keamanan serta kekuatan sosial dan politik. Sederhananya militer mempunyai fungsi pertahanan dan bisa menduduki jabatan sipil atau berpolitik. Pada masa orde baru mulai dari jabatan setingkat kepala desa hingga naik ke parlemen, banyak diisi oleh orang-orang dari kalangan militer. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah implikasi bila militer menduduki jabatan sipil dan berpolitik dalam tatanan negara demokrasi?
Dalam menjawab hal ini pertama-tama perlu dipisahkan antara tatanan militer dan masyarakat sipil. Militer seperti disinggung di awal mempunyai tugas menjaga kedaulatan, pertahanan dan keamanan negara. Masyarakat sipil adalah subjek yang harus dilindungi oleh militer. Masyarakat sipil berperan dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, politik dan berbagai ranah kehidupan lainnya. Dalam konteks negara demokrasi kedua hal di atas memang patutlah dipisahkan sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Salah satu tuntutan mahasiswa saat aksi 98 adalah dihapuskannya dwifungsi ABRI, lalu apa yang mendasari tuntutan tersebut. Untuk menemukan jawabannya mestilah kita kembali melompat ke masa lalu pada masa orde baru. Pada masa itu ABRI mengisi berbagai jabatan sipil mulai tingkat desa, hingga ke parlemen dan kementerian. ABRI atau kaum militer yang dipersenjatai oleh negara memasuki bahkan mengemban jabatan sipil membuat semakin superiornya institusi tersebut, di lain sisi masyarakat sipil semakin kehilangan perannya dalam bidang pemerintahan. Berbagai tindakan represif dan pelanggaran HAM oleh ABRI kepada masyarakat sipil seringkali terjadi pada masa itu. Oleh Presiden Soeharto superioritas dari ABRI adalah alat pelanggeng kekuasaannya selama 32 tahun dengan menggerogoti demokrasi sedemikian rupa.
Warisan reformasi yaitu penghapusan dwifungsi ABRI, kini santer dihidupkan kembali melalui revisi UU TNI. Dalam revisi tersebut yang menjadi perubahannya adalah penambahan usia pensiun bagi prajurit TNI dan yang kontroversial adalah perubahan pada pasal 47 ayat (2) UU TNI yang sebelumnya mengatur “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung”. Isi pasal ini akan ditambahkan dengan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden”. Dengan penambahan pasal ini dinilai berbahaya karena ada indikasi dwifungsi ABRI dihidupkan kembali.
Trauma sejarah orde baru kembali bangkit dengan rencana revisi UU TNI. Pemisahan ranah militer dan sipil perlu dilakukan demi keberlangsungan demokrasi. Dalam istilah ketatanegaraan, militer adalah alat negara bukan lembaga negara. Militer dijadikan alat pertahanan negara yang seyogyanya memang berada di barak dan bukannya masuk ke ranah pemerintahan bahkan politik. Terdapat indikasi berbahaya bila militer kembali memasuki ranah pemerintahan dan politik seperti di masa lampau. Korelasi militer dan kekuasaan menjadikan penguasa semakin berkuasa dan menjadikan militer sebagai alat pelanggeng kekuasaan dengan kewenangan memasuki ranah-ranah sipil. Kebiasaan-kebiasaan otoritarianisme dan militeristik akan kembali mengganggu sistem demokrasi di Indonesia. Tindakan represif oleh aparat ditakutkan akan makin sering terjadi, memanglah dapat dikatakan dewasa ini di Indonesia banyak kasus tindakan represif aparat terhadap masyarakat sipil, ambil saja contoh pada kasus-kasus agraria yang menimpa masyarakat hukum adat, beberapa di antara mereka bahkan dikriminalisasi olehnya.
Amerika Serikat sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia memisahkan dengan jelas ranah militer dan sipil. Untuk prajurit di sana yang ingin memasuki ranah politik haruslah terlebih dahulu mengundurkan diri dari posisi keprajuritannya. Dengan jelas pula ditekankan untuk prajuritnya sama sekali tidak diperbolehkan terlibat dalam politik apabila terbukti terlibat dalam politik maka sanksi beratlah yang akan menimpanya. Netralitas militer diperlukan dalam ranah politik, untuk mereka yang bersenjata sudah jelas fungsinya untuk pertahanan negara, apabila mereka yang bersenjata ikut-ikutan dalam ranah politik dan semisal menunjukan dukungannya untuk penguasa bahkan mengambil keuntungan darinya maka layaklah mereka disebut sebagai alat penguasa bukan alat negara dalam fungsi pertahanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H