Hindu di Bali tidak lepas dari tradisi, adat, budaya dan hari Suci Keagamaan yang sangat melekat dalam kehidupan masyarakat khusunya masyarakat Bali itu sendiri. Umat Hindu dalam beragama sangat berpatokan kepada tiga kerangka dasar umat Hindu, yaitu Tattwa (yang berkaitan dengan Sraddha atau keyakinan), Susila (berkaitan dengan tata hubungan dan prilaku baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh), dan Upacara yang menyangkut berbagai bentuk Bhakti dan kegiatan Upacara Yadnya). Hari suci umat Hindu dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan sasih dan pawukon. Hari suci umat Hindu berdasarkan Sasih jatuh setiap 1 Tahun sekali yang dihitung berdasarkan kalender Bali. Hari suci yang jatuh setiap 1 Tahun sekali, yaitu Nyepi dan Siwaratri. Sedangkan hari suci agama Hindu berdasarkan Pawukon/wuku dirayakan setiap 6 bulan sekali (210 hari sekali berdasarkan kalender Bali). Hari suci berdasarkan Sasih, yaitu hari raya Galungan, Kuningan, Saraswati dan Pagerwesi.
UmatTentunya pada hari Sabtu, tanggal 20 November 2021 tepatnya dalam Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Umat Hindu diseluruh Bali khusunya dan Indonesia umumnya merayakan hari suci Kuningan. Kuning dalam kata Kuningan berarti warna Kuning dan merupakan wuku ke 12 dalam kalender Bali. Kuningan berasal dari kata kauningan yang berarti mencapai tingkatan spiritual dengan cara mengintropeksi diri masing-masing agar terhindar dari marabahaya. Umat Hindu di seluruh Bali merayakan Hari raya/ hari suci Kuningan yang sering juga disebut Tumpek Kuningan. Hari suci Kuningan merupakan rentetan hari raya Galungan, dimana hari raya Kuningan berlangsung 10 hari setelah hari raya Galungan. Hari raya Kuningan merupakan hari untuk memperingati Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud Sang Hyang Parama Wisesa. Pada hari ini masyarakat Hindu di Bali memasang Tamiang, Kolem, dan Endong
Pada hari raya Kuningan, umat Hindu melakukan persembahyangan menyembah Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan menghadap para Dewa dan leluhur. Persembahan dilakukan dengan mempersiapkan dan mempersembahkan sesajen berisi ajengan (Makanan seperti nasi) yang berwarna Kuning. Di mana warna kuning merupakan ciri khas dari hari raya Kuningan. Ajengan yang berwarnan kuning memiliki filosofi dan makna yaitu sebagai simbol kemakmuran. Jadi pada hari raya Kuningan umat Hindu mengucapkan terimakasih dan rasa syukur atas segala berkat dan rahmat serta kenikmatan untuk kemaknuran di dunia ini.
Hari raya Kuningan memiliki keunaikan dan sedikit berbeda dengan hari raya Galungan. Selain chiri khasnya dengan warna Kuning, hari raya Kuningan juga memiliki ciri khas yaitu persembahyangan yang harus dilakukan mulai dari pagi hari sebelum matahari terbit sampai dengan batas yaitu jam 12 siang (tengai tepet). Hari raya Kuningan tidak dilaksanakan selama satu hari, akan tetapi dilaksanakan sampai setengah hari saja. Pada saat hari raya Kuningan, menisfestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu para Dewa, Bhatara dan Pitara atau leluhur turun ke dunia yang mempunyai tujuan memberikan umat manusia anugrah untuk melimpahkan segala karunia berupa sandang, pangan dan papan. Yang dimana pada saat ini umat Hindu membuat nasi Kuning/Ajengan Kuning yang merupakan lambang kemakmuran dan dihaturkan, dipersembahkan kepada para Dewa dan Pitara sebagai yadnya sebagai makna dan tanda terimakasih dan suksmaning manah karena telah diberikan Idep (pikiram) sebagai manusia yang menerima segala anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa berupa sandang, pangan dan papan yang telah dipimpahlkan oleh beliau dan menisfestasinya sebagai para Dewa yang berdasarkan cinta kasih dan Dharma.
Rangkaian pelaksanaan hari raya Kuningan yang dilaksanakan setengah hari memiliki alasan dan makna tersendiri. Dilaksanakannya sampai setengah hari saja bukan tanpa alasan, ini dilaksanakan dikarenakan pada saat waktu sebelum saatnya mencapai puncak yaitu siang hari, unsur-unsur yang ada pada alam semesta seperti Panca Maha Butha, yaitu Pertiwi, Apah, Teja, Bayu, Akasa, sudah mencapai puncak atau klimaks. Karena hal inilah umat Hindu melaksanakan persembahyangan baik itu di Pura maupun di Merajan dan pelinggih masing-masing dilakukan sebelum siang hari. Bahkan biasanya umat Hindu mulai mebanten dan bersembahyang jam 3 pagi agar lebih cepat selesai dan tidak sampai siang hari. Hari raya Kuningan yang mengambil waktu pagi hari, dimana ketika matahari mulai terbit bahkan sebelum terbit memang memiliki pancaran kesucian dan situasi yang sangat hening yang hanya didapat pada pagi hari menjelang matahari terbit.
Dan juga, ketika hari menjelang siang hari dan tepat jam 12 siang, aktivitas dan rangkaian persembahyangan harus sudah selesai. Ini juga bukan tanpa alasan, Â batasan waktu sampai jam 12 siang ini dilakukan karena pada siang hari selain unsur alam semesta yaitu Panca Maha Bhuta sudah mencapai klimaks, saat itu juga para Dewa, Bhatara dan Pitara/leluhur telah kembali ke kahyangan/swarga loka. Oleh karena itu, rangkaian dan pelaksanaan persembahyangan pada saat hari suci Kuningan waktunya hanya setengah hari.
Dalam pelaksanaan hari raya Kuningan, tidak lepas dari adanya Tamiang sebagai sarana dan salah satu simbolik yang ada pada hari raya Kuningan. Biasanya Tamiang dipakai sebagai sarana dan ditempatkan pada pelinggih, kemulan taksu, dan lainnya. Tamiang memiliki makna filosofi, dimana Tamiang melambangkan tameng yang merupakan suatu pelindung yang digunakan saat berperang. Bagitu juga di hari raya Kuningan ini, umat Hindu membuat Tamiang sebagai simbol mempertahankan hal-hal positif yang ada pada diri kita dan sebsagai kekuatan untuk menghadang atau menghentikan hal-hal yang bersifat negatif masuk ke dalam diri.
Selain itu, sebagai umat Hindu di hari suci Kuningan mempercayai bahwa Tameng tersebut untuk membentengi diri atau melindungi diri yang melambangkan kekuatan dan mempertahankan kemenangan Dharma melawan Adharma, dimana di hari raya Kuningan kita membentengi diri dari hal negatif yang bersifat Adharma dengan sifat-sifat Dharma. Tamiang juga sebagai niyasa dari Dewata Nawa Sanga yang berstana dan melindungi seluruh penjuru mata angin. Yang mana seluruh Dewata di penjuru mata angin melindungi manusia dari adharma agar selalu selamat dan damai. Di hari raya Kuningan ini sebagai umat Hindu dituntut untuk selalu membentengi diri dari hal-hal negatif berlandaskan pada Dharma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H