Budaya dan adat yang semula digadang-gadang sebagai fondasi kearifan lokal memang seharusnya menjadi elemen yang menyeimbangkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, sesama, alam, dan Tuhan. Namun, ketika implementasinya berubah menjadi alat penekan atau pembatas kebebasan individu, maka ada pertanyaan besar yang perlu kita ajukan: apakah ini masih kearifan, atau sekadar ilusi yang dipertahankan atas nama tradisi? Kearifan lokal sejatinya lahir dari konteks zaman dan kebutuhan masyarakat pada masa tertentu. Ia menjadi jalan untuk menciptakan harmoni dan keberlanjutan. Tetapi, ketika kearifan itu dipaksakan tetap relevan di era yang berbeda, tanpa adaptasi atau reinterpretasi, ia justru bisa menjadi belenggu yang menyerang kewarasan individu. Norma yang terlalu kaku sering kali meniadakan ruang dialog dan empati, menggantinya dengan prasangka dan konflik personal.Â
Tidak sedikit orang yang akhirnya terjebak dalam "kesetiaan palsu" terhadap budaya atau adat yang sebenarnya tidak lagi relevan. Mereka takut dicap durhaka atau melawan tradisi, meski dalam hati merasa tertekan, tersingkirkan, atau bahkan terluka secara mental. Pertanyaan tentang tetap setia atau tidak pada kearifan lokal seperti ini bukanlah soal meninggalkan tradisi, tetapi soal keberanian untuk bertanya: apakah tradisi ini masih melayani tujuan yang sama seperti awalnya? Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa adat dan budaya bukan entitas yang tak tergoyahkan. Ia adalah hasil konstruksi manusia yang dinamis dan seharusnya bisa berubah seiring dengan kebutuhan zaman.Â
Jika budaya yang ada lebih sering menciptakan ketidakseimbangan, maka tugas kita adalah mencari cara baru untuk menghidupkan nilai-nilai inti yang mendasarinya, bukan terus mempertahankan bentuknya yang usang. Setia pada kearifan lokal tidak berarti menutup mata pada dampaknya yang negatif. Sebaliknya, kita harus berani menyaring, menata ulang, dan merumuskan ulang apa yang masih relevan. Pada akhirnya, tujuan utama kearifan lokal adalah menjaga kemanusiaan, bukan menghancurkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H