Pandemi Covid-19 ini menyiratkan banyak fragmen kehidupan muncul ke permukaan. Setiap individu dan keluarga memiliki dinamika bertumbuh yang berbeda dalam menghadapi situasi saat ini.
Tak mudah memang bicara positif dalam situasi yang sensitif kalau tak ingin justru menjadi toxic positivity. Alih-alih menenangkan, yang justru menjadi tekanan kognisi. Hampir dua tahun berjalan, yang dikhawatirkan tak jua usai berlalu.
Setiap makhluk berinsan bertempur untuk bertahan. Sebagian berjuang dengan kesehatannya, sebagian lagi berjuang untuk bertahan dalam kehidupan dengan tugas-tugasnya sebagai manusia di bumi. Dan aku sebagai seorang ibu juga bertempur dengan kehidupan keluarga dan rejeki.
Awal pandemi melanda negara kita, bulan Maret 2020. Suamiku yang awalnya menjadi tulang punggung keluarga harus menerima dipulangkan dari tempatnya bekerja di luar negeri, sebut saja Amerika.
Praktis keadaan ini berdampak pada dinamika ekonomi keluarga yang awalnya adem ayem. Satu tahun berjalan di 2020 bisa dikatakan kehidupan masih terasa normal walau suami belum bekerja kembali, karena kami masih ada stok tabungan dan itu bisa kita gunakan hampir satu tahun lebih
Rezeki Selalu Ada
Setelah tabungan semakin hari semakin menipis, yang sebelumnya penghasilanku bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadiku sekarang harus diprioritaskan untuk keseluruhan kebutuhan rumah tanggaku. Awalnya aku panik, khawatir, cemas bahkan ketakutan menghantui pikiranku kalau seandainya rezekiku dalam bekerja tidak bisa memenuhi kebutuhan kami dalam sebulan.
Dalam keadaan itu, aku terdiam kaku, berusaha tenang dan memegang keyakinan bahwa di era teknologi saat ini, aku memiliki aset tak kasat mata dalam diriku yang mampu membuatku bertahan di masa pandemi ini.
Aset tak kasat mata ini seperti kesehatan fisik, mental, dan spiritual. Ada juga intelektual, pendidikan, kecerdasan, karakter luhur, kompetensi, kapasitas belajar, kemampuan adaptasi, cara berpikir, maupun paradigma pengetahuan yang relevan untuk masa depan. Dari aset tak kasat mata inilah aku mengumpulkan strategi dan metode sehingga bisa dieksekusi, diubah, dikembangkan, dilakoni yang nantinya menghasilkan aset kasat mata untuk bertahan hidup. Dan dari cara berpikir inilah ceritaku tentang uang dan keajaiban dimulai.
Senantiasa Bersyukur
Aku mengatakan bahwa ini adalah sebuah keajaiban yang mana sebuah ruang dan waktu bertemu di saat yang pas sehingga menghasilkan satu peristiwa dan pengalaman. Rezeki memang sudah ada yang mengatur, begitu banyak orang mengatakan. Tapi seperti apa proses di alam semesta ini sehingga rezeki berupa uang sampai di tangan kita. Itulah kedahsyatannya.
Seringkali uang sampai di tangan dengan pikiranku yang memiliki daya menjangkau. Seperti contohnya aku kekurangan uang membayar SPP anakku sebesar Rp3 juta, sebelum tidur pikiranku meyakinkan diri ini bahwa SPP itu pasti terlunasi saatnya nanti. Kebetulan saat itu masih ada waktu satu bulan untuk melunasi. Dan di sinilah keajaiban semesta itu bekerja.
Setelah itu, entah dari mana datangnya, beberapa hari kemudian temanku yang tinggal di Sulawesi, dia seorang dosen di sebuah universitas, mengundang aku menjadi pembicara dalam sebuah Webinar Nasional, ini tentu tak terlepas dari kompetensi sebagai aset tak kasat mata yang kumiliki.
Singkat cerita, uang hasil sebagai narasumber persis aku terima keesokan harinya. Aku menerima 50% dari uang SPP yang aku butuhkan. Hasil ini aku simpan. Setelah webinar ini, aku mendapatkan penawaran sebagai narasumber dari tempat lain lagi, salah satunya ada di Jakarta dan Yogya (karena saat pandemi tentu semua serba daring/online).
Terakhir, akhirnya aku bisa membayar tepat di hari terakhir penulasan dengan jumlah yang justru masih ada kelebihan. Cerita lain masih banyak, di mana saat aku mau beli beras, tiba-tiba mertua mengirim satu karung beras, di saat anak-anakku pingin cemilan/makanan, tiba-tiba sampai tempat kerja ada honor kegiatan yang aku terima sehingga bisa belanja.
Ini hanya satu dua cerita yang aku sampaikan, karena banyak sekali cerita spiritual tentang uang dan rezeki di masa pandemi yang membuatku selalu bersyukur atas kemurahan-Nya. Karena sesungguhnya semesta ini penuh keberlimpahan, kita hanya perlu sedikit keyakinan dan percaya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H