Pendidikan karakter dalam beberapa tahun terakhir sedang menjadi trending topic dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ya, maraknya perbuatan amoral dan melawan hukum yang dilakukan oleh pelajar menjadi penyebab utama dilakukan revitalisasi pendidikan karakter. Harapannya, dengan pelaksanaan pendidikan karakter, para pelajar akan kembali pada "jalurnya" yaitu menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya.
   Pelaksanaan pendidikan termasuk pendidikan karakter hendaknya juga mengakomodasi potensi lokal seperti yang diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional salah satunya berisi tentang "kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik". Berbicara tentang potensi lokal berarti berbicara tentang kearifan lokal.
    Bali yang dikenal karena budayanya menyimpan beragam potensi kearifan lokal. Kearifan lokal itu ada yang berwujud dan ada pula yang tidak berwujud. Kearifan lokal yang tidak berwujud itu contohnya berupa lagu atau nyanyian. Masyarakat Bali memiliki beberapa kategorisasi lagu tradisional yang terdiri dari sekar rare, sekar alit, sekar madya dan sekar agung. Sekar rare umumnya dinyanyikan oleh anak-anak ketika mereka sedang bermain dengan kawan sebayanya. Sekar alit umumnya dinyanyikan oleh anak-anak atau orang tua untuk menasehati putra-putrinya. Sekar madya atau sering dikenal dengan kidung umumnya dinyanyikan ketika berlangsung upacara keagamaan. Lalu, sekar agung  juga disebut dengan kakawin.
      Sekar alit atau sering dikenal dengan pupuh sarat dengan nilai karakter yang sesuai dengan tema pendidikan. Kita ambil contoh pada pupuh Ginada dengan kutipan lagu sebagai berikut :
Eda ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luu
Ilang luu buka katah
Yadin ririh liu nu peplajahan
Artinya :