Mohon tunggu...
Edi Swastawan
Edi Swastawan Mohon Tunggu... Petani - Pelajar Agribisnis

Selalu penasaran pada Kopi dan Jeruk Kintamani

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Serial Kopi Langkan #1: Wayan Genep dan Kopi Langkan

11 Maret 2021   10:00 Diperbarui: 28 Maret 2021   14:31 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada serial Kopi Langkan #0 aku mengajak kalian menemani aku menyelisik Kopi Langkan, membuat catatan dan menjadikannya cerita bersama. Tapi sahabat, sungguh aku bingung mulai mencatat dari mana. Aku melamun di samping tungku api, berlindung dari dinginnya malam Kintamani. Di samping ku lihat nenek dan adik menemani. Ada juga seorang laki-laki tua bernama Wayan Genep, dialah kakek sekaligus "dukun" kopi yang selalu tersenyum ceria. Seketika aku bertanya "apakah kakek tau awal kopi masuk ke Desa Langkan?", dan cerita pun dimulai.

Kakek bercerita bahwa kopi pertama kali masuk Desa Langkan pada tahun 1982 melalui program pemerintah, namun tidak diketahui apakah melalui pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Pertanyaanku berlanjut, "jika kopi sudah masuk Langkan pada tahun 1982, kenapa kakek baru bertani kopi tahun 1986?". Kakek berusaha mengingat-ingat, bahwa program tersebut bukan program hibah. Pemerintah pada saat itu tidak memberikan input budidaya kopi secara gratis kepada petani di Langkan. Intinya pada program itu petani masih harus mengeluarkan uang, namun sayangnya kakek tidak tau bagaimana skema program tersebut. Kakek tidak tau skemanya karena tidak ikut program, dan alasannya tidak ikut adalah keterbatasan finansial/modal.

Aku paham, pada saat itu tidak banyak cerita yang dapat aku dengarkan mengenai awal mula ada kopi di Langkan. Akan tetapi, secara otomatis terlontar sebuah pertanyaan lanjutan dari bibirku yang setengah menggigil "lalu bagaimana perjalanan kakek menanam kopi sejak 1986 hingga saat ini?". Entah kenapa dingin seolah hilang, kakek sontak bersemangat memulai cerita, dan diawali dengan kisah bertani selain komoditas kopi.

Kakek ternyata pernah membudidayakan banyak komoditas, namun komoditas kopi lah yang paling lama bertahan. Sebelum bertani kopi, kakek bercerita tentang bertani singkong, jagung, tembakau, vanili, dan padi gogo (padi yang ditanam di lahan kering). Komoditas-komoditas itu adalah sumber penghasilan kakek dan nenekku sebelum kopi masuk ke Langkan. Untuk komoditas perkebunan, kakek juga pernah menanam berbagai jenis jeruk secara bertahap pada tahun 1982 dan 1990-an. Ada sedikit kesempatan memotong pembicaraan, pertanyaanku berlanjut "kenapa kakek menanam begitu banyak jenis komoditas?". Ternyata, dari jaman ke jaman, komoditas itu berganti dengan dasar ikut-ikutan. Mendengar itu, aku berkelakar dalam hati: "ahh ternyata, fenomena bisnis latah memang sudah ada dari dulu" hehe... 

Dengan sebatang rokok ditangan kanan kakek melanjutkan cerita, bahwa jika ditelisik kembali, komoditas dengan nilai ekonomi paling tinggi yang pernah kakek tanam sebenarnya adalah tembakau. Sontak aku kaget dan tertawa nakal, karena bahkan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi saat itu pun tergantikan hanya karena emosional dan ambisi ikut-ikutan menanam komoditas "baru". Namun ya begitu adanya, kebiasaan ikut-ikutan itu membawa berkah, jika tidak ada kebiasaan itu mungkin aku tidak pernah merasakan bermain dan tumbuh di antara pohon-pohon kopi.

Kemudian cerita yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kakek menyampaikan pertama kali menanam kopi berawal dari benih yang diminta dari salah satu saudara kandung beliau bernama Pekak Ratem. Pekak Ratem adalah saudara kandung kakek yang ikut dalam program penanaman kopi pertama di Langkan pada tahun 1982. Jenis benih yang kakek minta adalah kopi arabika Varietas S795, benih itu disemai secara mandiri, lalu ditanam pada dua petak lahan yang tidak terlalu besar di belakang rumahku sekarang. Tanaman kopi itu tumbuh dengan baik, bahkan sampai sekarang masih ada lima pohon yang masih hidup. Artinya, lima pohon kopi pertama yang ditanam kakek, sekarang (tahun 2021) sudah berumur 35 tahun. Saat ini pohon kopi tersebut aku rawat, dan menjadi bagian fisik sejarah keluarga.

Tahun 1990-an, kakek mendapatkan sumbangan hibah benih kopi dari pemerintah. Benih yang diberikan adalah benih kopi robusta, berasal dari Kecamatan Pupuan-Bali. Hal itu cenderung unik, karena jenis kopi robusta diberikan pada petani di Langkan yang memiliki ketinggian diatas 1.080 mdpl. Aku mengatakan itu unik karena notabene kopi robusta adalah kopi yang yang cocok ditanam di dataran lebih rendah, kisaran 700 mdpl. Namun karena terbatasnya pengetahuan kakek pada saat itu, benih tersebut tetap ditanam dan dirawat dengan baik. Pada akhirnya? Tentu sesuai ekspetasi, buah yang dihasilkan tidak optimal. Buah tumbuh sangat jarang dan rata-rata berukuran kecil, dan biji yang dihasilkan kebanyakan adalah biji kopi lanang (peaberry/biji kopi yang mengalami anomali atau kelainan).

Hebatnya kakekku tidak kehabisan akal. Beberapa tahun berselang kopi robusta itu di-top working. Artinya, batang bawah pohon kopi robusta dipotong, kemudian ditunggu keluar tunas baru. Tunas baru yang tumbuh di-grafting/disambung dengan pucuk kopi arabika Varitas S795. Cerita pekak, kopi arabika hasil grafting itu tumbuh dan berbuah dengan baik, namun ukuran buah masih cenderung kecil mengikuti karakter buah kopi robusta sebelumnya. Baru pada tahun 1996 pasca bapak dan ibuku menikah, kakek mencoba menggunakan buah kopi arabika hasil grafting sebagai benih. Benih disemai dan ditanam, lalu kakek menyampaikan dengan nada ditekan sebagai bentuk penegasan bahwa buah yang dihasilkan dari benih itu benar-benar besar! Sampai-sampai aku melongo, dilihat dari cara bicara kakek sepertinya buahnya benar-benar besar deh. Pikiranku berselancar dan hanya bisa membayangkan, karena ketika kopi itu berbuah, aku masih menjadi balita yang imut nan lucu (bener kok lucu hhmm).

Pada akhirnya, tapi kakek lupa tahun berapa, kakek kembali mendapatkan sumbangan berupa bibit kopi arabika Varietas Kartika. Yang kakek ingat, bibit tersebut diambil secara berebut ke Desa Kubu-Bangli. Karena jarak dari Langkan ke Desa Kubu lumayan jauh ( 14 km), dan kakek pada saat itu belum memiliki kendaraan, kakek menumpang di truk milik salah satu warga Langkan.

Bibit kopi Varietas Kartika itu lalu ditanam di antara pohon kopi Varietas S795 hasil grafting dengan jarak tanam 2,5 x 2,5 meter. Jadinya, dalam petak lahan yang sama ada dua varietas berbeda. Sekarang tumpang sari antar varietas itu menghasilkan sesuatu, karena di petak lahan itu tumbuh sebuah pohon kopi liar yang unik. Jika dilihat dari karakteristik ranting dan jarak antar dompol buah, menyerupai karakteristik Varietas Kartika. Sementara jika dilihat berdasarkan bentuk daun, menyerupai daun kopi Varietas S795.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun